JAKARTA, KOMPAS – Penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat terus menggantung karena belum ada titik temu antara pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penyelidikan terhadap beberapa kasus dinilai sudah selesai, tetapi terhenti di penyidikan. Dengan beberapa pertimbangan, formulasi penuntasan kasus HAM pun terus dicari, baik yudisial maupun nonyudisial.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan penyelidikan terhadap beberapa kasus yang diduga terjadi pelanggaran HAM berat. Namun, penyelesaian kasus itu dinilai terhenti di Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai penyidik karena tidak segera membentuk tim penyidik.
“Penyelidikan sudah selesai, lantas sebagai penyidik, Kejagung mestinya membentuk tim penyidik untuk melakukan kajian terhadap berkas-berkas itu. Yang paling penting, Presiden (Joko Widodo) sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi memastikan bahwa proses penyidikan itu dimulai,” ujar Taufan dalam konferensi pers “Tanggapan Komnas HAM atas Perintah Presiden terkait Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu” di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Psuat, pada Senin (4/6/2018).
Adapun sebelumnya, pada Sabtu (2/6/2018), untuk kali pertama, Presiden menerima para aktivis HAM di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi berjanji akan memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto untuk membicarakan masalah tersebut. Jaksa Agung juga diperintahkan untuk berkooridnasi dengan Komnas HAM.
Taufan menjelaskan, setidaknya ada sembilan kasus yang laporan penyelidikannya telah diberikan kepada Kejagung. Sembilan kasus tersebut adalah peristiwa pembantaian (1965-1966); penembakan misterius (1982-19885); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); penculikan aktivis (1997-1998); tragedi Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2 (1998); tragedi Kerusuhan Mei 1998 (1998); tragedi penembakan Simpang KKA, Aceh Utara (1999); peristiwa di Wasior, Papua (2001) dan di Wamena, Papua (2003); dan tragedi Jambu Kepok, Aceh Selatan (2003).
Menurut Taufan, Komnas HAM telah melakukan proses penyelidikan terhadap kasus-kasus tersebut secara patut dan sesuai dengan lingkup serta batas kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik. Hasil peneylidikan Komnas HAM itu meliputi keterangan korban, keterangan saksi-saksi, dan sejumlah alat bukti.
“Yang dicari adalah indikasi permulaan dan sudah kami temukan adanya dugaan pelanggaran berat,” ucap Taufan.
Anggota Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menolak usulan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Menurut dia, Kejagung harus tegas secara hukum memutuskan tindaklanjut dari laporan penyelidikan Komnas HAM agar tidak berlarut-larut memberikan harapan kepada keluarga korban.
“Kalau memang dinyatakan oleh Jaksa Agung bahwa bukti dari kami tidak cukup, keluarkan Surat Penghentian Penyidikan agar Komnas HAM bisa melakukan upaya hukum berikutnya dan korban bisa menggunakan langkah hukum yang lain. Jadi punya posisi yang jelas, kalau sekarang, kan, tidak jelas,” tutur Choirul.
Komprehensif
Secara terpisah, Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi mengatakan, penyelesaian kasus HAM berat harus dilihat secara komprehensif, baik secara kesiapan alat bukti saat di peradilan, maupun juga nama baik dari calon tersangka. Mualimin menilai, kesulitan Kejagung sebagai penyidik saat ini adalah pencarian alat bukti selain yang diatur khusus di dalam UU Nomor 20/2000 tentang Pengadilan HAM, yakni Pasal 184 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) . Adapun di dalam pasal tersebut ditulis alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
“Kejaksaan itu kalau didorong yudisial, kembali lagi dia terbentur di hukum acara. Kejagung harus mengacu pada KUHAP itu. Karena kan penyelesaian pelanggaran HAM berat itu ranahnya hukum pidana, maka di dalam hukum pidana itu disepakati yang dicari kebenaran materiil korban, pelaku siapa yang dihukum,” ujar Mualimin.
Selain itu, hal lain yang patut dipertimbangkan adalah nama baik calon tersangka apabila bukti-bukti itu belum cukup kuat. Mualimin mengatakan, seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran berat akan memiliki beban untuk mendapatkan daftar hitam jika berpergian ke luar negeri dan setidaknya terancam dipenjara minimum 10 tahun.
“Ketika sudah tersangka A, menurut KUHAP, bisa langsung ditahan. Dan sekali merilis bahwa dugaan pelanggaran HAM berat dilakukan oleh A, itu akan dicatat sampai dunia internasional,” ujarnya.
Karena itu, menurut Mualimin, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus disikapi secara bijaksana. Sejauh ini, ia mengaku terus berkoordinasi dengan Menkopolhukam dan Kejagung untuk menemukan formulasi yang tepat dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya dengan cara non-yudisial.
Non-yudisial di sini, lanjut Mualimin, adalah rekonsiliasi yang dilakukan di setiap daerah. Wali kota atau bupati akan mengeluarkan peraturan daerah yang menggerakan setiap kepala dinasnya untuk mengeksplor dan merangkul keluarga yang merasa menjadi korban pelanggaran HAM. Kemudian, keluarga itu akan dipenuhi haknya secara materiil, baik kesehatan, pendidikan, dan rumah. Ia menyebut cara itu dengan kearifan lokal (local wisdom).
“Bentuknya rekonsiliasi yang dibungkus dalam wadah kearfian lokal. Nanti akan terlihat di mana kabupaten yang paling banyak ada dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah fokus pembiayaan kepada keluarga korban di sana,” ujarnya.
“Saya sudah beberapa kali bertemu dengan Menkopolhukan untuk terus memunculkan ide-ide itu. Dengan mekanisme itu, saya kira ini keputusan yang sangat bijak daripada kita mencoba-coba mendorong mekanisme yudisial tetapi hukum acara tidak dipenuhi,” tegasnya.