Azmi Bishara, Eks Politisi Israel di Tengah Pusaran Konflik Qatar vs Kuartet Arab
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
LEBIH dari satu dekade silam, ia masih duduk di kursi parlemen Israel (Knesset) sebagai anggota legislatif wakil masyarakat Arab Israel. Kini, Azmi Bishara (61)--sang tokoh kontroversial itu--termasuk menjadi salah satu pemain diplomasi utama dalam krisis politik antara Qatar dan empat negara Arab lainnya.
Ketika Knesset memojokkan dia terkait posisinya yang pro-Palestina, Bishara meninggalkan Israel tahun 2007. Ia juga dituduh memberi saran pada milisi Syiah di Lebanon, Hezbolah. Bishara membantah tuduhan tersebut.
Sejak itu, mantan penganut Marxis dan pendiri Balad, partai politik Arab Israel, tersebut menunjukkan jati dirinya sebagai intelektual Arab, yang dekat dengan lingkar kekuasaan di Qatar.
Bishara adalah seorang Arab Israel. Artinya, ia keturunan Palestina yang bertahan di tanah miliknya saat negara Israel didirikan tahun 1948. Jumlah mereka sekitar 17,5 persen dari populasi Israel hari ini.
Bishara adalah tokoh penting di kalangan media Qatar. Akun Twitter-nya memiliki lebih dari 1,4 juta follower. Pengritiknya menuduh Bishara berubah aliansi politik selamanya. Akibatnya, Bishara dicap sebagai pendukung terorisme, seperti juga tuduhan terhadap Qatar yang menampungnya.
Setahun lalu, kuartet negara Arab (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir) memutus hubungan dengan Qatar. Empat negara Arab itu menuding Qatar menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok ekstrem dan mendukung Iran, mitra utama Hezbollah Lebanon dan musuh abadi Arab Saudi.
"Bishara memainkan peran kunci dalam memengaruhi pendekatan Qatar di kawasan dan dunia melalui media dan riset," kata Theodore Karasik dari kelompok riset Gulf State Analytics. "Perannya tak terbantahkan lagi. Mengingat perseteruan sengit di dalam kawasan Negara Teluk dan sepertinya perpecahan ini bakal permanen, intelektual Palestina itu sepertinya akan terus berlindung di Doha."
Di media sosial dan siaran-siaran TV di kawasan yang dekat dengan Arab Saudi dan negara-negara mitranya, Bishara dikecam dengan sebutan "Rasputin-nya Doha", agen Mossad, dan "tokoh pelindung terorisme".
"Yang ditulis tentang Bishara di media Teluk sangat dilebih-lebihkan," ujar Andreas Krieg, pakar pertahanan dari King\'s College, London. "Dia seorang Palestina Kristen yang pernah memiliki paspor Israel. Dia pernah menjadi sosialis, tetapi sering berubah pandangan-pandangan politiknya."
"Menyebut dia sebagai tokoh pelindung terorisme tidak masuk akal," tegas Krieg.
Sosok kontroversial
Bishara sudah lama menjadi sosok yang kontroversial, jauh sebelum terlibat dalam politik Qatar. Ia mundur dari Knesset tahun 2007 di tengah penyelidikan dirinya terkait tuduhan dirinya berada di pihak Hezbollah dalam perang melawan Israel tahun 2006.
Dia juga dilucuti hak imunitas parlemennya. Otoritas Israel mengatakan, pencabutan hak imunitas Bishara terkait komentar-komentarnya yang anti-Israel dan keterkaitannya dengan Suriah.
Buku-buku karangannya dilarang beredar di Arab Saudi. Tahun 2014 Riyadh mendesak Qatar agar menutup lembaga riset Arab Center for Research and Policy Studies, yang dipimpin Bishara.
"Sejak UEA dan Arab Saudi memandang perbedaan dan oposisi sebagai ancaman bagi negara, narasi liberal dari pusat riset Bishara dan di media muncul untuk menangkis kebijakan-kebijakan di Abu Dhabi dan Riyadh yang mempromosikan mitos stabilitas otoritarian," papar Krieg.
Para pengritik Bishara menyebut, ia hanya memiliki kepentingan pribadi. Dan, apapun ujung krisis Teluk saat ini, para analis mengatakan, ia kemungkinan bakal selamat secara politik. "Jika Qatar mengubah jalan, Bishara akan lari ke tempat lain," kata Karasik. (AFP)