JAKARTA, KOMPAS - Komisi Yudisial hanya meloloskan dua orang sebagai calon hakim agung dalam rangkaian seleksi yang dilakukan sejak Oktober 2017. Kedua calon yang diusulkan ke DPR itu untuk mengisi kekosongan hakim agung di kamar agama dan perdata di Mahkamah Agung.
KY belum berhasil mencari pengganti Artidjo Alkostar, mantan hakim agung dan Ketua Kamar Pidana MA. Artidjo memasuki masa pensiun pada 1 Juni.
Sebelumnya, MA meminta tambahan delapan hakim agung untuk mengisi kamar agama (1 orang), kamar perdata (3 orang), kamar pidana (1 orang), kamar militer (2 orang), dan kamar tata usaha negara dengan keahlian di bidang pajak (1 orang). Namun, hanya dua orang (dari total 85 peserta seleksi) yang dinilai memenuhi syarat, yaitu Abdul Manaf (kamar agama) dan Pri Pambudi Teguh (kamar perdata).
”Calon kebanyakan gugur saat mereka menghadapi tes atau ujian kualitas,” kata Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari, Selasa (5/6/2018), di Jakarta, seusai menyerahkan hasil seleksi kepada DPR. Berkas diterima oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Juru Bicara KY Farid Wajdi mengatakan, sekalipun MA membutuhkan delapan hakim agung, tetapi jika hanya ada dua orang yang layak menjadi hakim agung, pihaknya tidak akan memaksakan diri. Untuk memenuhi kebutuhan itu, MA perlu mengajukan permintaan kembali.
”KY tidak menekankan kuantitas, tetapi pada kualitas, integritas, komitmen, dan kompetensi calon hakim terhadap peradilan yang bersih,” ujar Farid.
KY tidak menekankan kuantitas, tetapi pada kualitas, integritas, komitmen, dan kompetensi calon hakim terhadap peradilan yang bersih,
Mengenai belum ditemukannya pengganti Artidjo, ia mengungkapkan, ”Seleksi yang dilakukan KY pun tidak bertujuan untuk mengganti hakim perseorangan, tetapi mengisi posisi hakim agung yang lowong. Yang diganti adalah posisinya, bukan orangnya.”
Sementara itu, Fadli Zon mengatakan, pihaknya akan membahas dua nama usulan KY itu dengan Komisi III DPR. ”Selanjutnya, mengenai sikap DPR, apakah dua nama ini diterima atau tidak akan diputuskan di dalam rapat paripurna,” katanya.
PK marak
Menyusul dengan berakhirnya masa tugas Artidjo sebagai hakim agung, pengadilan menerima sejumlah pengajuan perkara peninjauan kembali (PK). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, hingga kini telah menerima pendaftaran PK dari tiga terpidana korupsi, antara lain bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Terkait dengan hal itu, MA menilai, upaya hukum PK merupakan hak mereka. Kendati banyak yang menghubungkan fenomena itu dengan pensiunnya Artidjo, Juru Bicara MA Suhadi menilai alasan itu tidak relevan.
”Mereka yang dijatuhi hukuman berat oleh MA itu, kan, pada tahapan kasasi, yakni saat perkaranya dipegang Pak Artidjo. Jika mereka memang ingin mengajukan PK, mengapa harus menunggu Pak Artidjo pensiun. Sebab, sesuai ketentuan, hakim tidak boleh memegang perkara yang sama dua kali,” katanya.
Menurut Suhadi, jika narapidana kasus korupsi itu ingin mengajukan PK, seharusnya sejak dulu atau tidak perlu menunggu Artidjo pensiun. Ketika perkara mereka diputus oleh Artidjo di tingkat kasasi, di tingkat PK tidak mungkin perkara mereka diperiksa Artidjo kembali. Ketakutan mengajukan PK itu tidak beralasan.
”Jadi, kalau mereka beranggapan MA akan memberikan keringanan hukuman setelah Artidjo pensiun, lalu mereka ramai-ramai mengajukan PK, itu sebenarnya hal yang tidak ada kaitannya atau tidak relevan,” kata Suhadi.