Menanti Eksistensi Bandara Kertajati
Mulai Jumat (8/6/2018) ini, Bandar Udara Internasional Jawa Barat di Kertajati resmi beroperasi.
Citilink jadi maskapai pertama dengan rute Suraya-Kertajati-Surabaya.
Saat roda pesawat menapak bumi, Kamis (24/5/2018), hening di tubuh Airbus A320-200 milik Batik Air berubah riuh rendah. Raut gembira terpancar di wajah 150 penumpang saat pilot Arif Purnawanto mengucapkan selamat datang di Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Majalengka.
”Alhamdulillah, akhirnya mendarat juga,” kata penumpang yang sebagian besar adalah perangkat desa di Kecamatan Kertajati, Kamis (24/5/2018).
Diundang Pemerintah Provinsi Jabar dan PT Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), rombongan ini menjadi yang kedua tiba di Kertajati. Yang pertama kali mendarat adalah Pesawat Kepresidenan Boeing 737-800 yang mengangkut Presiden Joko Widodo.
Datang dari Majalengka ke Bandung lewat perjalanan darat sekitar dua jam, terbang bersama burung besi jauh lebih singkat bagi para perangkat desa itu. Terbang di ketinggian 13.500 kaki, hanya butuh 20 menit menempuh perjalanan sejauh sekitar 100 kilometer itu. Bahkan, saat layanan film yang disediakan di pesawat belum lama dinyalakan, pengumuman pesawat akan mendarat sudah terdengar.
”Dari lahir sampai sekarang, ini pertama kali saya naik pesawat, ternyata secepat ini” kata Jaya (51), Ketua Badan Permusyawaratan Desa Mekarmulya.
Direktur Utama PT BIJB Virda Dimas Ekaputra mengatakan, acara ini adalah penghargaan bagi perangkat desa yang ikut menyukseskan proyek bandara, antara lain urusan pembebasan lahan. Dari proyeksi lahan seluas 1.800 hektar, yang sudah dibebaskan sekitar 1.100 hektar.
”Ini merupakan penerbangan bersejarah dan mereka berhak merasakannya. Kelak Kertajati bakal jadi gerbang warga dunia melihat Indonesia,” katanya.
Penerbangan komersial dipastikan mulai 8 Juni ini. Maskapai Citilink akan memulainya dengan rute Surabaya-Kertajati- Surabaya. Setelah itu, maskapai Lion dan Wings. Maskapai-maskapai itu nantinya akan melayani penerbangan ke lima kota, yakni Medan, Makassar, Surabaya, Bali, dan Balikpapan. Perjalanan haji ke Tanah Suci bakal dilakukan Juli mendatang.
Mimpi besar itu memang layak dilambungkan. Terminal bandara seluas 96.280 meter persegi berdiri megah. Landasan pacunya sepanjang 2.500 meter dengan lebar 60 meter. Kawasan industri di sekitar bandara seluas 3.000 hektar juga akan dibangun di sana.
Pasokan listrik 15 megawatt (MW) dari PT PLN dan genset kapasitas 12 MW juga disiapkan. Begitu juga pasokan air 23 liter per detik. Dengan semua fasilitas itu, BIJB diproyeksikan bakal melayani 3,2 juta penumpang pada 2019 dan 5,2 juta penumpang pada 2020, bahkan 55 juta penumpang saat tahun 2042. ”Mimpi terbesar kami mengelola bandara berkelas internasional. Perlahan mulai terwujud,” kata Virda.
Akan tetapi, sejatinya pendaratan pertama itu bukan akhir dari semuanya. Beragam infrastruktur pendukung harus segera diwujudkan jika BIJB ingin berumur panjang.
Tol baru 39 persen
Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, yang bakal menghubungkan Bandung-Majalengka, misalnya, baru terbangun 39 persen. Padahal, jalan tol ini bisa memangkas waktu perjalanan dari 120 menit menjadi hanya 60 menit. Proyek sejauh 61,87 kilometer tersebut terbagi dalam enam seksi dan ditargetkan selesai tahun 2019. Sebaliknya, kereta api Bandung-Kertajati baru rampung 5-10 tahun lagi.
Ketersediaan logistik juga masih bergantung pada daerah lain. Untuk kebutuhan makanan, Manajer Teknik UMP PT BIJB Hidayat Effendi mengaku, pihaknya bekerja sama dengan Aerofood ACS. ”Nanti, makanannya dari Bandung terus dipanaskan di sini. Tempatnya sedang dibangun,” katanya.
Kawasan industri (aerocity) seluas 3.000 hektar belum rampung. Akibatnya, belum ada hotel di sekitar bandara. Satu-satunya hotel berbintang tiga ada di Majalengka, berjarak sekitar 30 kilometer dari bandara. Kondisi itu kontras dengan daerah tetangga Cirebon. Di sana, terdapat 107 hotel dengan 400 restoran atau rumah makan.
Bupati Majalengka Sutrisno mengakui, investor belum banyak berinvestasi. Mereka masih ragu apakah BIJB Kertajati bakal beroperasi atau tidak. ”Sekarang, kami membuka diri dan mengajak investor untuk menanamkan modalnya di Majalengka,” ujar Sutrisno.
Berbagai kondisi ini menunjukkan pembangunan bandara bertaraf internasional itu terpisah dengan sarana pendukungnya. Padahal, pembangunan bandara sisi darat menelan biaya sangat tinggi, Rp 2,6 triliun.
Uangnya berasal dari Pemprov Jabar sebesar Rp 796 miliar, PT Jasa Sarana (Rp 12,5 miliar), dan investasi langsung (Rp 891,5 miliar). Sisanya, Rp 906 miliar, dari pinjaman bank syariah. Sementara pembangunan sisi udara dari dana pemerintah pusat Rp 875 miliar.
Namun, tak hanya infrastruktur yang butuh perhatian. Jauh lebih penting ialah masa depan warga yang merelakan lahan mereka diubah jadi bandara.
Saat ini, ada empat desa di Kecamatan Kertajati yang terdampak pembangunan. Desa itu adalah Bantarjati, Sukakerta, Kertajati, dan Kertasari. Menurut Sekretaris Desa Sukamulya Ade Hari (34), dari total luas Sukamulya 730 ha, 547,5 ha di antaranya bakal dijadikan bandara. Namun, baru 60 ha yang dibebaskan.
Warga masih dibayangi kecemasan mau jadi apa kelak apabila lahan mereka berubah jadi bandara. Sebagian besar warga Sukamulya adalah petani. ”Kami meminta warga diberi keterampilan untuk mandiri. Kabarnya bakal ada dari Pemprov Jabar, tapi hingga kini belum ada. Paling tidak warga dibekali keterampilan beternak, bekerja di perkebunan, hingga mengelola lahan Perhutani,” ucap Ade.
Sekretaris Desa Sukakerta Juheri (30) menilai, salah satu kendala terbesar bagi warga ialah kualifikasi pendidikan. Warga setempat umumnya lulusan SD-SMP. Padahal, persyaratan pendidikan yang ditetapkan di bandara minimal SMA/SMK.
Selepas pendaratan perdana, pembangunan manusia dan infrastruktur tak boleh ditunda lagi. Semuanya harus berjalan beriringan demi kehidupan BIJB Kertajati yang panjang.