Munduk, Eksotisme di Balik Kabut
Kabut tipis tiba-tiba datang memeluk kami, Februari lalu. Tak lama berselang, kabut pun terbang bersama angin. Suasana tengah hari di lereng pegunungan Batukaru, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, kembali terang.
Seakan terus menggoda, tak lama kemudian kabut datang lagi. Kali ini kami tak membiarkan dingin kabut menyiksa. Seteguk kopi Banyuatis dihadirkan menjadi solusi, kami seruput dalam-dalam. Hangatnya serasa menyebar ke seluruh tubuh.
Ngopi di kedai tengah kota mungkin sudah biasa. Namun, ngopi dilatari kabut pegunungan dan dihangatkan sepiring pisang goreng menjadi pengalaman tidak biasa. Kami menikmati pengalaman itu di kedai Ngiring Ngewedang, Desa Munduk.
Kedai Ngiring Ngewedang berada di bukit berketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) di Desa Munduk. Sensasi bauran rasa pahit kopi robusta, manisnya pisang goreng hangat, dan dingin kabut yang sesekali datang adalah serangkaian kepingan damai di Bali Utara.
Dalam sejarahnya, Desa Munduk merupakan kawasan perkebunan kopi pada masa Belanda. Hanya saja, kondisi itu berganti saat kopi tak lagi bisa diandalkan. Masyarakat membabat kopi dan menggantinya dengan cengkeh.
Masa-masa kejayaan kopi di Desa Munduk adalah era tahun 1920-an hingga sebelum 1970. Pada tahun 1970 itulah banyak tanaman kopi yang dibabat, kemudian digantikan cengkeh. Kondisi itu terjadi karena harga kopi jatuh hingga sangat rendah.
Saat ini, warga Desa Munduk berjumlah sekitar 6.000 orang dan sekitar 10 persen adalah petani kopi (40 persen warga Munduk adalah petani). Rata-rata kopi di Desa Munduk berjenis robusta karena ditanam di ketinggian sekitar 800 mdpl. Desa Munduk sendiri terletak di ketinggian 600 mdpl-1.500 mdpl dan menjadi akses alternatif dari Denpasar menuju wilayah barat Buleleng.
Penjajah yang terpikat
Menurut Bendesa (kepala desa adat) Desa Munduk Putu Ardana, kopi dibawa Belanda ke Munduk. Sebelumnya, Belanda sudah terpikat dengan keelokan alam Munduk dan membangun pesanggrahan di sana.
Sejak awal, ujar Ardana, Belanda menjadikan Munduk sebagai kawasan perkebunan. ”Diperkirakan kopi sudah ada di Munduk sejak tahun 1800-an. Awal tahun 1900-an, masyarakat sudah banyak menemui orang Belanda bermukim di Munduk,” kata Ardana.
Meski sempat menghilang, kini masyarakat setempat berupaya mengembalikan kejayaan kopi Munduk. Mereka berusaha mengangkat kopi Munduk dengan menguatkan ikon kopi Blue Tamblingan. ”Munduk sebenarnya memiliki kopi spesial, yang tidak kalah dengan kopi-kopi lain. Namanya kopi Blue Tamblingan,” kata Ardana.
Kopi Blue Tamblingan tak lain kopi berjenis arabika yang ditanam di sekitar Danau Tamblingan di hamparan ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Kopi arabika itu tumbuh subur dalam pelukan hutan di sekeliling Tamblingan yang dinamai Amerta Jati. Hutan Amerta Jati juga dikelilingi 17 pura di sekitarnya. Pura tersebut berasal dari empat desa adat Tamblingan Dalam, yaitu Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing, dan Desa Umajero. ”Menjadi istimewa karena kopi ini tumbuhnya berlumur doa dan asap dupa,” kata Ardana lagi.
Potensi kopi Blue Tamblingan, menurut Ardana, berada di 40 hektar lahan di sekitar Danau Tamblingan. Namun, sayang, saat ini kopi Blue Tamblingan belum banyak digarap masyarakat. Terkait dengan sepinya minat itu, Ardana kini mengajari 30-an petani kopi tentang cara menghasilkan produk istimewa itu.
Lahan kopi Blue Tamblingan milik Ardana seluas 2 hektar. Per hektar dapat menghasilkan 4 kuintal green bean dalam setahun. Dari karya 30-an petani binaan, produk kopi Blue Tamblingan baru sejumlah 2-3 ton sekali panen. Terbatasnya produksi kopi istimewa tersebut membuat harga kopi Blue Tamblingan menjadi cukup mahal, yaitu Rp 300.000 per kilogram biji kopi.
Kopi dan wisata
Begitulah Munduk, yang tidak bisa dipisahkan dari kopi. Untuk menghormati anugerah alam berupa tanaman kopi, masyarakat Desa Munduk membangun pura yang dinamakan Pura Kopi, tahun 1920-an. Pura Kopi terletak bersebelahan dengan lahan Puri Lumbung, penginapan pertama di Desa Munduk.
Setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan, dalam sebuah upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, warga akan menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, dewa penjaga tumbuh-tumbuhan, di Pura Kopi. Masyarakat datang membawa sesajen untuk menghormati dewa dan mengharap berkah yang baik.
”Munduk adalah desa wisata berbasis pertanian, salah satunya kopi. Wisata bukanlah tujuan, tetapi hanya dampaknya saja. Dengan kopi dan wisata, kami berharap Munduk akan semakin maju, dan masyarakat sendiri sebagai pelaku wisatanya,” kata Nyoman Bagiarta, sesepuh Desa Munduk yang juga pemilik penginapan Puri Lumbung di Desa Munduk.
Awal tahun 1990-an, di Desa Munduk mulai berdiri penginapan Puri Lumbung. Berikutnya, tahun 2007, mulai banyak penginapan dan restoran. Saat ini ada 300-an kamar di Desa Munduk yang bisa diakses wisatawan.
Pesona Munduk tidak melulu tentang kopi. Tentu masih ada pesona keelokan air terjun Melanting. Atau, tak ketinggalan, kesejukan tiga danau yang berimpitan, yaitu Danau Beratan di wilayah Kabupaten Tabanan serta Danau Buyan dan Danau Tamblingan yang masuk wilayah Desa Munduk.
Desa Munduk termasuk salah satu desa kecil di Bali Utara. Karena itu, untuk ke sana, pengunjung sebaiknya menyewa kendaraan dari Denpasar. Dari ibu kota Provinsi Bali itu, pengunjung bisa melalui rute menuju Bedugul, mengarah ke Seririt. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam jika kondisi normal (tidak hujan dan berkabut).
Sepanjang jalan, perjalanan menuju Munduk melintasi jalur berliku naik-turun, khas pegunungan. Hamparan menghijau tanaman cengkeh, pisang, kopi, sawah, serta lengangnya lalu lintas adalah kelebihan dari kawasan wisata Munduk.
Di sini, kita bisa benar-benar menghirup udara segar pegunungan. Tiada bising klakson kendaraan memekakkan telinga, pula deru mesin kendaraan yang berputar cepat menyisakan rasa cemas dan ketergesaan. Pun, tak ada bau asap kendaraan yang berebut keluar dari knalpot dan menyesaki pernapasan. Keelokan alam Pegunungan Batukau mampu memeluk dan meredam itu semua, lalu menggantinya dengan rasa segar dan nyaman.
Udara di Munduk cukup segar dan cenderung lebih segar dibandingkan kota-kota besar di Bali (rata-rata 22 derajat celsius). Oleh karena itu, lebih baik pengunjung menyiapkan baju hangat atau jaket, terutama bagi mereka yang tidak tahan dengan udara yang lebih dingin.
Yang perlu diingat, sebagai desa kecil, Munduk tidak memiliki mesin anjungan tunai mandiri. Mesin ATM hanya ada di kawasan Bedugul atau Seririt, yang waktu tempuhnya sekitar 1 jam dari Munduk. Oleh karena itu, lebih baik pengunjung membawa uang kas sejak dari kota agar tidak kerepotan.
Di Munduk juga belum banyak terdapat warung makan. Ada beberapa kafe mulai muncul dengan jam operasional yang juga terbatas. Jika menginap di hotel atau homestay, akan lebih baik pengunjung memilih makan di sana sekalian. Atau, jika sudah ada kafe yang dituju, maka harus dipastikan pada saat dibutuhkan, kafe itu masih buka.
Tertarik menengok eksotisme Munduk? Kedai kopi sudah menanti.