JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum menegaskan, sikapnya terhadap pelarangan bekas narapidana menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 tidak berubah. Penegasan sikap sekaligus penjelasan ini akan disampaikan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyusul surat Kemenkumham yang menolak mengundangkan Peraturan KPU.
Melalui surat 7 Juni 2018, Kemenkumham menjawab permohonan pengundangan dua PKPU, yakni tentang Pencalonan Anggota Legislatif dan Kampanye Pemilu 2019, yang dikirim 4 Juni.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, Minggu (10/6/2018), surat Kemenkumham yang ditandatangani Direktur Jenderal Perundang-undangan Widodo Ekatjahjana itu menjelaskan kronologi hasil kajian dan rapat sinkronisasi yang dilakukan Kemenkumham dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu terkait PKPU Pencalonan Anggota Legislatif. Kemendagri dan Bawaslu menyampaikan bahwa pelarangan pencalonan bekas napi korupsi itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua instansi itu juga menyampaikan bahwa dalam rapat dengar pendapat di DPR terkait penyusunan PKPU itu, Kemendagri dan Bawaslu tak setuju dengan larangan bekas napi korupsi menjadi caleg. Bawaslu disebutkan menyampaikan bahwa jika pemerintah mengundangkan PKPU itu, Bawaslu akan kesulitan menjalankan fungsi penyelesaian sengketa pemilu karena ada ketentuan yang bertentangan.
Selain itu, Kemenkumham juga menyampaikan adanya surat keberatan dari Bawaslu dan Kemendagri tertanggal 6 Juni dan 7 Juni terhadap PKPU No 14/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD. PKPU yang sudah diundangkan pada 12 April 2018 itu juga memuat pelarangan pencalonan bekas napi korupsi.
Selain mengembalikan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif, Kemenkumham juga mengembalikan PKPU Kampanye Pemilu 2019 dengan alasan merupakan rangkaian lanjutan dari PKPU Pencalonan Anggota Legislatif.
Sebelumnya, Widodo membenarkan tentang pengiriman surat ke KPU. ”Kami berikan saran agar KPU melakukan penyelarasan supaya tidak menabrak aturan yang lebih tinggi dan putusan MK,” kata Widodo.
Kami berikan saran agar KPU melakukan penyelarasan supaya tidak menabrak aturan yang lebih tinggi dan putusan MK
Dalam surat tersebut, Kemenkumham juga memberi waktu kepada KPU untuk bertemu dengan Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Kemendagri, dan MK. Pertemuan tersebut bertujuan memperoleh masukan sehingga regulasi yang dikeluarkan sejalan dengan UU di atasnya dan putusan pengadilan.
Siapkan surat
Ketua KPU Arief Budiman saat dihubungi kemarin menuturkan, KPU sedang membuat analisis untuk menjawab surat dari Kemenkumham. KPU akan kembali menegaskan alasan tidak mengikuti pendapat dari DPR, pemerintah, dan Bawaslu terkait dengan pasal dalam PKPU Pencalonan Anggota Legislatif.
Lebih lanjut Arief mengingatkan Kemenkumham bahwa sudah ada putusan MK yang menyatakan bahwa rapat konsultasi penyusunan PKPU tidak mengikat KPU. ”Jadi, KPU harus dijaga kemandiriannya,” kata Arief.
Menurut dia, tidak boleh setiap pihak memperdebatkan sesuatu sesuai dengan versi masing-masing karena mekanisme perundang-undangan sudah mengatur bahwa jika ada yang dinilai tidak sesuai UU, bisa diuji materi ke Mahkamah Agung.
Menurut Arief, biar MA yang menentukan apakah PKPU itu bertentangan dengan UU atau tidak. Yang jelas, kata Arief, sejauh ini KPU belum punya rencana untuk mengganti klausul pelarangan pencalonan bekas napi korupsi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menuturkan, KPU perlu kembali ke keyakinan kelembagaannya. Tentu publik akan melihat kesungguhan KPU dalam memperjuangan klausul pelarangan bekas napi kasus korupsi. Hal ini harus menjadi pembelajaran moral dan hukum bagi pembentuk UU untuk tidak menyepelekan aspirasi publik.
Titi juga mengingatkan, di tengah waktu yang sangat dekat dengan masa pencalonan anggota legislatif pada awal Juli mendatang, penundaan pengundangan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif akan merugikan bakal calon anggota legislatif dan partai politik.