Kematian Gajah Bukti Perlindungan Tak Maksimal
Kematian gajah jinak di tempat yang seharusnya paling aman bagi gajah menjadi evaluasi keselamatan gajah dari incaran pemburu, apalagi bagi gajah liar yang masih terus terancam.
JAKARTA, KOMPAS — Kematian gajah jantan jinak berusia 30 tahun, Bunta, di Aceh menunjukkan perlindungan "spesies kunci" atau satwa yang menjadi ikon ini belum maksimal. Peristiwa ini diharapkan menggugah para pihak untuk mengevaluasi ulang manajemen keselamatan gajah jinak dan gajah patroli maupun perlindungan gajah liar.
Pemanfaatan teknologi mutlak dilakukan mengingat perlindungan saat ini masih menempatkan gajah pada keterancaman yang minim pengawasan. Apalagi satwa penjelajah ini berhabitat di luar kawasan konservasi.
World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, mengutip data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), menyatakan, dalam 10 tahun terakhir kematian gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) mencapai 700 individu. Ini menempatkan satwa ini sebagai satu-satunya sub spesies gajah asia semakin terancam kepunahan.
Fragmentasi hutan serta tata ruang yang belum memperhatikan jalur migrasi satwa membuat gajah berada pada keterancaman tinggi. Pemantauan langsung diperlukan untuk mengetahui posisi pergerakan gajah sumatera yang jumlahnya terus menurun.
"Angka populasi gajah sumatera yang beredar saat ini sekitar 1.600 ekor. Namun beberapa pihak menaksir jumlahnya hanya 1.000 ekor," kata Sunarto, ekolog satwa liar WWF Indonesia, Senin (11/6/2018), di Jakarta.
Angka populasi gajah sumatera yang beredar saat ini sekitar 1.600 ekor. Namun beberapa pihak menaksir jumlahnya hanya 1.000 ekor.
Gajah yang hidup bersosial sekitar 30 individu per kelompok, seekor di antaranya bisa dipasang alat GPS Satellite Collar. Alat berbentuk kalung yang dikaitkan pada leher gajah liar ini mengirimkan data via satelit terkait posisinya setiap saat.
"Populasi gajah terus menyusut butuh langkah nyata, tidak sekadar berbicara peduli gajah, tapi giliran soal willingness to pay (kesediaan untuk membayar), diam saja. Termasuk juga masyarakat internasional," kata dia.
Sunarto mengatakan, jumlah populasi gajah yang menyusut drastis membutuhkan pengawalan atau monitoring langsung dengan bantuan teknologi pelacakan. Tanpa pengawasan langsung, perlindungan selama ini terbukti "gagal" karena populasi gajah terus menurun. Data FKGI 2014 menunjukkan populasi gajah saat itu 1.724 individu atau turun 28 persen dari tahun 2007 yang sekitar 2.400-2.800 ekor.
Pengawalan dengan bantuan satelit akan mendeteksi tujuan pergerakan kelompok gajah. Ini membantu untuk menginformasikan kepada pemilik konsesi kebun maupun hutan serta desa yang akan dilalui agar bersiap melakukan penghalauan.
"Konflik gajah dengan manusia yang terjadi saat ini sebagian karena masyarakat panik tiba-tiba gajah memasuki ladang atau kebun," kata dia.
Pada gajah jinak maupun gajah yang menjadi tim patroli, Sunarto pun mendorong peningkatan keamanan. Kematian Bunta menyadarkan bahwa ancaman perburuan bisa dialami gajah pemilik gading meski hidup di area yang seharusnya sangat aman. Ia mendorong pihak berwenang memperbaiki manajemen perlindungan, termasuk memasang alat pemantau kamera pada habitat gajah jinak/patroli.
Kematian Bunta menyadarkan bahwa ancaman perburuan bisa dialami gajah pemilik gading meski hidup di area yang seharusnya sangat aman.
Kejahatan luar biasa
Terkait kematian Bunta, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, "Kami bersama aparat kepolisian melakukan tindakan tegas agar tak terulang di tempat lain."
Bagi KLHK, kata dia, kejahatan terhadap satwa liar seperti ini masuk kategori kejahatan luar biasa. Kejahatan ini dinilainya sangat merugikan negara karena mengancam biodiversitas yang menjadi aset dan masa depan Indonesia.
Polres Aceh Timur masih memburu pelaku pembunuhan Bunta di CRU Desa Bunin, Kecamatan Serba Jadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Penyidik pun masih menunggu hasil analisa laboratorium meski nekropsi menunjukkan dugaan kematian gajah itu akibat diracun. Gading gajah sebelah kiri juga hilang sehingga menguatkan motif perburuan.
Bunta diduga mati setelah memakan buah pisang dan kuweni bercampur racun. Dalam usus Bunta ditemukan buah kuweni yang belum sempat dicerna.
Setelah mati, pelaku memotong gading sebelah kiri dan membawanya kabur. Pelaku diduga menggunakan kapak untuk memotong gading karena potongan pada pangkal gading tampak tidka rapi.
“Melihat kondisi lapangan, kondisi gajah, dan barang bukti, pelaku lebih dari satu orang,” kata Erwin.
Sejauh ini belum ada petunjuk siapa pelakunya. Namun, kata Erwin, mereka akan bekerja keras mengungkapkan siapa pelakunya. Kemarin, penyidik telah meminta keterangan dua dari tujuh staf di CRU Serba Jadi.
Program Manager WWF Sumatera Bagian Utara Dede Suhendra menuturkan, pemburu satwa tidak mau tahu targetnya gajah jinak atau liar yang penting apa yang mereka cari dapat. Oleh sebab itu, kata Dede, peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih serius menangani satwa lindung.
Peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih serius menangani satwa lindung.
Terhadap aparat penegak hukum, Dede meyakini kasus ini akan terungkap. Beberapa kasus kematian gajah sebelumnya mampu dibongkar. Hal ini menunjukkan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan mengalami kemajuan.
Meski demikian, kata Dede, masih ada beberapa kasus kematian gajah di Aceh yang sampai kini belum terungkap. “Saya berharap semangat polisi mengungkap kasus kematian gajah liar dan gajah jinak tidak berbeda, karena ini sama-sama hewan lindung,” ujar Dede.
Perburuan menjadi salah satu penyebab paling besar kematian gajah di Aceh. Data BKSDA Aceh sepanjang 2012-2018 sebanyak 56 ekor gajah mati. Pada 2016 populasi gajah di Aceh diperkirakan tersisa 500 ekor.