\JAKARTA, KOMPAS--Respons pasar domestik terhadap kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, belum sepenuhnya terlihat. Perdagangan saham di pasar modal baru akan dibuka pada 20 Juni, sedangkan perdagangan Surat Berharga Negara di pasar sekunder baru akan dibuka pada 21 Juni.
Kedua perdagangan itu merupakan indikator yang menunjukkan respons pasar domestik terhadap kebijakan The Fed.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, di Bandung, Minggu (17/6/2018), menyatakan, kenaikan suku bunga acuan di AS kali ini tampaknya sudah diantisipasi pelaku pasar di seluruh dunia. Dengan demikian, nilai tukar dollar AS tidak akan menguat seketika.
Bahkan, lanjut Tony, indeks dollar AS melemah. Indeks dollar AS adalah indeks nilai tukar dollar AS terhadap enam mata uang negara mitra dagang terpenting AS, kecuali China.
Oleh sebab itu, Bank Indonesia (BI) disarankan untuk tidak serta-merta menaikkan lagi suku bunga acuan di dalam negeri. BI sebaiknya melihat perkembangan pasar sebelum Rapat Dewan Gubernur BI pada 27-28 Juni.
”Belum tentu suku bunga acuan di dalam negeri harus dinaikkan. BI juga harus berhemat, tidak saja dalam hal intervensi menggunakan cadangan devisa tetapi juga berhemat dalam hal suku bunga acuan,” kata Tony.
Indikator utama respons pasar keuangan domestik terhadap kenaikan suku bunga acuan di AS antara lain pasar modal dan perdagangan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Pada saat pengumuman kenaikan suku bunga acuan di AS, pasar modal dan pasar sekunder SBN tengah libur, bersamaan dengan cuti bersama pemerintah terkait Hari Raya Idul Fitri pada 11-20 Juni.
Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada Kamis dini hari pekan lalu menaikkan suku bunga acuan di AS sebesar 25 basis poin, dari 1,75 persen menjadi 2 persen. Kenaikan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate ini merupakan yang kedua pada tahun ini dan ketujuh sejak krisis keuangan global pada 2008.
Bank Sentral AS juga mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan lagi hingga akhir tahun ini. Gubernur the Fed Jerome Powell dalam keterangan pers menyebtukan, FOMC memproyesikan suku bunga acuan di AS sebesar 2,4 persen pada akhir 2018. Artinya, besar kemungkinan akan ada kenaikan suku bunga acuan dua kali lagi di semester II-2018.
Tony menuturkan, situasi keuangan tahun ini sudah jelas, yakni rezim suku bunga rendah sudah berakhir. Implikasinya, pengusaha harus mencari upaya untuk memangkas biaya produksi di luar beban bunga bank. Upaya itu antara lain melakukan efisiensi biaya operasional dan biaya distribusi.
Dihubungi di Yogyakarta, Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, berpendapat, investor portofolio akan merespons kenaikan suku bunga acuan di AS. Oleh karena itu, ada dua pilihan yang bisa diambil, yakni menjual portofolio di Indonesia kemudian membeli portofolio di AS atau tetap memegang portofolio di Indonesia.
Jika investor menjual SBN, maka harga SBN akan turun sehingga imbal hasilnya naik. Jika investor menjual saham, maka indeks saham akan turun. Hal ini merupakan respons pasar jika investor menjual portofolio mereka di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.
Piter menambahkan, reaksi sesaat investor portofolio terhadap kenaikan suku bunga acuan AS teredam libur panjang. Fundamen ekonomi Indonesia yang cukup baik lebih menentukan pertimbangan investor.
Sebelum cuti bersama, Jumat (8/6), Indeks Harga Saham Gabungan ditutup pada posisi 6.993,627. Adapun nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate sebesar Rp 13.902 per dollar AS.