Tiga dari lima tim yang mewakili Afrika pada Piala Dunia 2018 berasal dari satu kawasan yang sama, yakni Afrika Utara. Ketiganya yakni Mesir, Tunisia, dan Maroko. Namun, perjalanan dua tim Afrika Utara harus berakhir pagi-pagi. Mesir dan Maroko dipastikan tersingkir setelah kalah dalam dua partai awalnya di grup masing-masing.
Mesir berada di Grup A bersama tuan rumah Rusia, Uruguay, dan Arab Saudi. Di laga perdana penyisihan, Jumat (15/6/2018) di Ekaterinburg Arena, Ekaterinburg, Mesir kalah 0-1 oleh gol Jose Gimenez pada menit ke-89. Tim berjuluk "Firaun" yang dilatih Hector Cuper (Argentina) itu berusaha bangkit di laga kedua melawan Rusia.
Namun, di Stadion Saint Petersburg, Saint Petersburg, Rabu (20/6), Mesir yang memiliki penyerang berbahaya Mohamed Salah menyerah dengan skor 1-3 dari “Sbornaya”, julukan Rusia.
Laga ketiga kontra Arab Saudi di Volgograd Arena, Volgograd, Senin (25/6), mustahil membantu Mesir untuk melangkah lebih jauh. Namun, mereka bisa memanfaatkan laga itu untuk berpisah dengan turnamen dengan kegembiraan dari kemenangan.
Nasib serupa dialami Maroko yang kalah pada dua laga penyisihan Grup B. Kegagalan pertama diderita dari Iran dengan skor 0-1, juga di Stadion Saint Petersburg, Jumat (15/6). Yang menyakitkan, kekalahan terjadi akibat gol bunuh diri penyerang “Singa Atlas”, yakni Aziz Bouhaddouz, pada waktu tambahan (menit ke-95). Selanjutnya, Maroko yang ditangani Herve Renard (Perancis) kalah 0-1 dari Portugal, Rabu (20/6), di Stadion Luzhniki, Moskwa.
Laga ketiga kontra Spanyol, Selasa (26/6), di Stadion Kaliningrad, Kaliningrad, tidak lagi menentukan. Namun, Maroko bisa membusungkan dada apabila mampu menyakiti Spanyol dengan kemenangan. Sebelum angkat kaki dari turnamen, Maroko diharapkan memberi perlawanan sengit seperti ditunjukkan saat laga melawan Portugal.
Satu tim Afrika Utara yang tersisa, yakni Tunisia, masih bertahan. Namun, nasibnya terancam sama dengan dua "saudara" tersebut. Di laga perdana penyisihan Grup G, Selasa (19/6), di Volgograd Arena, Tunisia menyerah dengan skor 1-2 dari Inggris.
“Elang Kartago”, julukan Tunisia, mesti menghadapi laga berikutnya melawan tim unggulan Belgia. Di laga perdana, Belgia tampil trengginas saat menghancurkan perlawanan Panama dengan skor 3-0.
Tunisia harus bermain lebih "gila" lagi dibandingkan saat mereka menghadapi Inggris untuk mengimbangi Belgia. Jika kalah, Tunisia harus menyusul Mesir dan Maroko pulang.
Piala Dunia yang telah berlangsung sebanyak 21 edisi, termasuk tahun ini di Rusia, belum pernah menjadi panggung kejayaan tim-tim Afrika. Senada dialami oleh tim-tim Asia, Oseania, dan Amerika Utara-Tengah-Karibia. Hanya tim-tim dari Eropa (Italia, Jerman, Inggris, Perancis, Spanyol) dan Amerika Selatan (Brasil, Uruguay, Argentina) yang bergantian merasakan juara dunia.
Padahal, di edisi ini, Mesir, Tunisia, dan Maroko bukanlah tim lemah. Di Afrika, mereka termasuk tim juara. Mesir yang diperkuat penyerang subur gol, Mohamed Salah, adalah kampiun tujuh kali Piala Afrika. Tunisia dan Maroko juga masing-masing pernah satu kali menjadi juara Piala Afrika. Namun, status pernah menjadi juara benua tak banyak berbicara di Piala Dunia.
Mesir, misalnya, punya Mohamed Salah yang amat subur bersama Liverpool. Kompetisi Eropa akrab dengannya sejak membela Basel, Chelsea, Fiorentina, dan AS Roma. Namun, menghadapi Rusia di laga yang diharapkan bisa dimenangkan, Salah tak bisa berbuat banyak.
Salah memang memberi kontribusi dengan menyumbang satu gol lewat penalti pada menit ke-73. Namun, gol itu tak cukup menutup defisit atas Rusia. Saat laga melawan Uruguay, Salah tak dimainkan.
Maroko tak jauh berbeda meski ditangani Renard, satu-satunya pelatih yang mampu menjuarai Piala Afrika dengan negara berbeda (Zambia dan Pantai Gading). Dari 23 pemain yang dibawanya ke Rusia, hanya tiga pemain yang tidak bermain di liga-liga Benua Biru.
Artinya, mayoritas pemain Maroko sudah tak asing lagi dengan kompetisi Eropa yang dapat menjadi modal bagus ketika menghadapi tim-tim benua tersebut. Sayang, menghadapi Iran mereka kalah. Melawan Portugal pun juga begitu.
Di mana masalahnya? Saat menghadapi Uruguay (4-4-2), Cuper memakai formasi 4-2-3-1. Hasilnya, mereka kalah cuma dengan satu gol. Cuper mungkin melihat formasi itu sudah pas sehingga kemungkinan jitu ketika dipakai melawan Rusia.
Di laga kedua, Rusia dan Mesir bentrok dengan formasi yang sama, 4-2-3-1. Namun, pemain Rusia lebih mampu membuka pertahanan dan menciptakan peluang sekaligus gol.
Saat menghadapi Iran (3-4-3), Renard juga memakai formasi yang sama. Maroko lebih banyak mendominasi laga dan peluang. Namun, tak ada gol. Kesialan di akhir lagalah yang membuat mereka kalah.
Di laga kedua, menghadapi Portugal (4-4-2), Renard tak bisa mengambil risiko bermain terbuka dengan 3-4-3. Agar lebih aman, formais yang dipakai 4-2-3-1. Dengan model ini, Renard ingin mematikan serangan Portugal di lapangan tengah. Lumayan berhasil, tetapi tetap gagal menghentikan megabintang Cristiano Ronaldo mencetak gol kemenangan.