JAKARTA, KOMPAS--Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, impian memiliki rumah hanya bisa terwujud dengan mengandalkan pinjaman bank dalam bentuk kredit pemilikan rumah atau KPR. Berdasarkan survei triwulanan Bank Indonesia, yang dikutip Kompas, Minggu (24/6/2018), sekitar 75,8 persen properti residensial dibeli menggunakan fasilitas KPR.
Dina (28), karyawati swasta di Jakarta, bisa membeli rumah seharga Rp 395 juta menggunakan fasilitas KPR. “Sambil minjam uang dari keluarga buat nambahin uang mukanya biar angsurannya terjangkau,” kata Dina.
Dina memperhitungkan suku bunga KPR karena terkait dengan besaran angsuran. Ia bahkan membandingkan suku bunga KPR antara satu bank dengan bank lainnya.
Sebagai nasabah, Dina mengaku khawatir ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate menjadi 4,75 persen. Sebab, bank bisa jadi mengubah suku bunga KPR-nya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata saat dihubungi Kompas mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI sebanyak 50 basis poin atau 0,5 persen pada bulan Mei belum berdampak pada suku bunga kredit bank. “Memandang hal ini mesti hati-hati karena BI sebagai otoritas moneter memang harus mengantisipasi kondisi global yang terjadi. Tetapi sebaiknya perbankan menahan dulu untuk menaikkan kredit konstruksi maupun KPR,” kata Soelaeman.
Menurut Soelaeman, rencana kenaikan suku bunga acuan BI yang disertai kebijakan makroprudensial berupa relaksasi rasio pinjaman terhadap aset (LTV) untuk properti, dinilai positif. Namun, agar kebijakan itu maksimal, perlu dukungan pihak lain, terutama perbankan.
Soelaeman berharap, jika BI menaikkan suku bunga acuan lagi, bank tidak serta-merta ikut menaikkan suku bunga KPR. Menurut dia, suku bunga kredit bank masih bisa dipertahankan hingga suku bunga acuan BI sebesar 6 persen. Dengan cara itu, tujuan relaksasi LTV untuk mendorong sektor properti dapat berjalan maksimal.
Akan tetapi, Soelaeman mengingatkan, relaksasi LTV hanya berdampak pada sebagian industri properti, yakni hunian komersial. Adapun hunian bersubsidi dan bangunan komersial tidak terdampak kebijakan tersebut. Bangunan komersial adalah mal, hotel, dan perkantoran.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal REI REI Totok Lusida menyampaikan, dalam diskusi dengan BI, REI meminta agar suku bunga kredit perbankan tidak langsung dinaikkan.
Menurut Totok, pemerintah dan BI melihat, jika sektor properti bangkit, maka sektor yan lain akan ikut terkerek. Jika LTV direlaksasi dan perbankan bisa menahan bunga kredit, Totok yakin sektor properti bisa bergerak lebih kencang di semester II-2018.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan, mayoritas pengembang di Apersi bergerak di perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, mereka tergantung pada kebijakan dan peraturan dari pemerintah, khususnya terkait fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) maupun subsidi selisih bunga.
“Maka, kebijakan kenaikan suku bunga BI tidak signifikan pengaruhnya terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, sangat memengaruhi pasar rumah menengah dan atas, yang sudah terpukul sejak 3-4 tahun yang lalu,” kata Djumali.
Dalam tiga tahun terakhir, BI telah dua kali melonggarkan LTV, yakni pada 2015 menjadi 80 persen dan pada 2016 menjadi 85 persen. Dengan LTV yang saat ini berlaku, uang muka yang menjadi beban peminjam untuk pembelian rumah tapak di atas 70 meter persegi adalah 15 persen dari harga rumah.
Permintaan tinggi
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI pasti akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit, terutama kredit konsumsi. Sebab, permintaan kredit konsumsi cukup tinggi, terutama KPR.
“Jika beban biaya bank semakin tinggi, mau tidak mau perbankan akan menaikkan suku bunga kredit untuk menjaga margin bunga bersih. Apalagi suku bunga KPR rata-rata saat ini rendah, sehingga berpotensi untuk dinaikkan juga,” kata Jahja.
Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Anggoro Eko Cahyo mengatakan, saat ini industri perbankan nasional sedang mengukur potensi kenaikan suku bunga deposito dan kredit atas kenaikan suku bunga acuan BI. Langkah itu untuk melihat apakah bank perlu menyesuaikan atau tidak, serta waktu yang tepat untuk menyesuaikannya.
“Kami akan berhati-hati untuk mengambil keputusan itu. Apalagi saat ini pertumbuhan kredit perbankan belum stabil atau relatif melambat,” kata dia.
Menurut Anggoro, relaksasi LTV akan membuka peluang ekspansi KPR yang lebih besar. Kebijakan itu sangat membantu individu yang belum memiliki rumah, terutama dari sisi uang muka, yang seringkali menjadi kendala pengajuan KPR. Namun, perbankan juga perlu memitigasi risiko yang timbul karena relaksasi LTV. Risiko itu di antaranya peningkatan NPL, sehingga perbankan harus selektif.