Regenerasi Penulis Sastra Kini Melaju
Di tengah tantangan mendongkrak minat baca kalangan muda, pertumbuhan ketertarikan pada sastra koran, khususnya cerita pendek, masih menggembirakan. Regenerasi penulis pun terus terjadi.
Menurut Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, tingginya animo masyarakat terhadap karya cerpen, antara lain, tergambar pada peningkatan jumlah karya cerpen yang dikirimkan ke Redaksi Kompas.
”Jika beberapa tahun terhitung rata-rata 10 tulisan setiap hari, sekarang jumlah cerpen yang diterima mencapai 15-16 tulisan setiap hari atau sekitar 5.400 cerpen setahun. Padahal, maksimal hanya 50 karya cerpen saja yang bisa dimuat Kompas setahun,” ujar Budiman.
Hal itu disampaikan Budiman pada Jamuan Cerpen Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/6/2018). Acara ini digelar dalam rangkaian kegiatan Hari Ulang Tahun Ke-53 Kompas. Sejak 1992, harian Kompas membukukan cerpen pilihan dan memberikan penghargaan bagi cerpen terbaik di antara semua cerpen yang dimuat pada terbitan Kompas di hari Minggu sepanjang tahun.
Tahun ini, karya 21 cerpenis terpilih masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2017. Cerpenis asal Pamekasan, Madura, Muna Masyari, dinobatkan menjadi penerima penghargaan cerpen terbaik melalui karyanya, ”Kasur Tanah”. Pada kesempatan yang sama, diberikan pula penghargaan kesetiaan berkarya kepada cerpenis Wilson Nadeak.
Ketua Tim Juri Cerpen Pilihan Kompas 2017 Putu Fajar Arcana menyebutkan, penyelenggaraan tahun ini terasa istimewa karena para cerpenis yang karyanya terpilih ternyata berasal dari empat generasi. ”Ada Sori Siregar, Budi Darma, Martin Aleida, Ahmad Tohari, dan Putu Wijaya sebagai pengarang generasi pertama yang telah berusia di atas 70 tahun. Pada generasi kedua ada nama Gde Aryantha Soethama, Indra Tranggono, Radhar Panca Dahana, Agus Noor, dan Triyanto Triwikromo,” ujar Putu.
Dari generasi ketiga ada nama-nama seperti Made Adnyana Ole, Farizal Sikumbang, dan Djenar Maesa Ayu. Sementara generasi keempat diwakili para penulis muda, seperti Muna Masyari, Faisal Oddang, Miranda Seftiana, Supartika, Wisnu Sumarwan, dan Rika.
”Fakta itu setidaknya menunjukkan proses regenerasi pengarang Indonesia berjalan dan dicatat koran. Dulu, sastra koran dianggap kelas pinggiran, tetapi kini menjadi pencatat sejarah sastra yang tak banyak lagi dilakukan lembaga formal, seperti universitas,” ujar Putu.
Penerima penghargaan cerpen terbaik, Muna Masyari, menuturkan, dirinya mulai mengirim karya cerpen sejak 2010 walau baru dua tahun lalu karyanya terseleksi dimuat Kompas. Penghargaan cerpen terbaik yang kini diterimanya ia rasakan sebagai tantangan agar lebih produktif dan tak mengecewakan di masa mendatang.
Ajang Jamuan Cerpen Kompas juga menampilkan pementasan Teater Mandiri yang disutradarai Putu Wijaya. Pementasan teater ini mengangkat interpretasi cerpen karya Muna.
Konsistensi
Harian Kompas secara konsisten menerbitkan karya cerpen sejak lima dekade lalu. Konsistensi itu diapresiasi sejumlah sastrawan yang selama ini juga kerap berkontribusi mengirimkan karya cerpen mereka. Terkait hal itu, sastrawan Agus Noor menaruh harapan besar.
”Selain bisa dijadikan semacam benchmark, pemuatan karya-karya cerpen di Kompas juga berkontribusi besar pada upaya membangun dan melestarikan tradisi serta nilai-nilai sastra di Tanah Air,” ujar Agus.
Penilaian dan harapan senada dilontarkan cerpenis Ahmad Tohari. Bagi Tohari, cerpen tak sekadar karya tulis sastra, tetapi juga menjadi cara dan medium untuk mendidik serta mengajak pembaca memahami sisi-sisi kemanusiaan. Dengan begitu, kehadiran karya sastra, terutama cerpen, berperan penting.
Selain menampilkan pentas Teater Mandiri, acara Jamuan Cerpen Kompas juga dimeriahkan dengan penampilan grup musik asal Bali, Dialog Dini Hari. (Wisnu Dewabrata)