JAKARTA, KOMPAS - Ketika bangsa Indonesia mulai menengok laut sebagai sumber kesejahteraan, hal utama harus dipenuhi adalah pemetaan laut secara utuh. Terkait hal itu, yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang kompeten dalam membuat peta bawah laut.
Kepala Pusat Hidros TNI AL Laksamana Muda Harjo Susmoro, Rabu (4/7/2018), di Pushidros TNI AL, Jakarta, mengatakan, saat ini baru 35 persen peta laut Indonesia yang mutakhir. Untuk memetakan 65 persen yang tersisa, jika memakai sumber daya yang ada seperti saat ini, dibutuhkan waktu sekitar 47 tahun. ”Ini berarti, saat yang 65 persen selesai, yang 35 persen sudah tidak lagi up to date (aktual),” katanya.
Persoalan utama dalam pemetaan laut ini adalah terbatasnya sumber daya manusia yang kompeten untuk melakukannya, yang antara lain dibuktikan dengan sertifikasi. ”Dengan adanya sertifikasi, kepercayaan dunia bahwa wilayah laut Indonesia benar-benar dipetakan oleh orang yang kompeten, bisa terwujud,” kata Harjo.
Salah satu visi penting dari Poros Maritim Dunia adalah menjadikan laut Indonesia sebagai sumber kesejahteraan yang, antara lain, diperoleh dari lalu lintas maritim. Posisi Indonesia yang strategis di Asia Pasifik membuat banyak kapal, terutama niaga, yang akan lewat dan kemudian diharapkan berlabuh di perairan Indonesia. Guna mewujudkan hal ini, peta laut sangat diperlukan karena kapal-kapal bertonase besar butuh jalur laut yang diyakini aman.
Sertifikat
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin mengatakan, pihaknya membuat aturan agar para surveior di Indonesia memiliki sertifikat kompetensi hidrografi. Namun, ini tidak mudah karena sertifikat hanya disediakan Pushidros TNI AL. Namun, ia menggarisbawahi, surveior merupakan profesi yang bisa bergerak bebas di dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Untuk itu, BIG bekerja sama dengan Komite Akreditasi Nasional dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Sementara pada Program Studi Geodesi Institut Teknologi Bandung juga telah diadakan program sertifikasi hidrografi, tetapi untuk pendidikan, bukan kompetensi.
Ahli pemetaan laut dari ITB Poerbandono mengatakan, seharusnya surveior memiliki sertifikat pendidikan dan kompetensi sekaligus. ”Punya sertifikat itu jadi alasan legal kita untuk tidak menggunakan surveior asing,” ujarnya
Harjo mengatakan, kedaulatan data pemetaan laut bersifat mutlak. Jangan sampai pihak asing yang memiliki peta laut yang tidak dipunyai Indonesia. Ia mengatakan, dalam kerja sama dengan para surveior nasional, kendala pemetaan sebanyak 65 persen itu diharapkan bisa diatasi dengan berbaginya data dari perusahaan survei nasional dengan Pushidros.
Laksito Pararto, yang pernah menjadi Ketua Asosiasi Perusahaan Survei Pemetaan dan Informasi Geospasial, mengatakan, anggota asosiasinya berjumlah sekitar 130 orang. Meski mereka profesional dan punya pengalaman hingga puluhan tahun, tidak ada seorang pun yang memiliki sertifikasi hidrografi. ”Sertifikasi itu mahal,” katanya.