SENGKANG, KOMPAS Ribuan bangunan, sesuai pantauan pada Rabu (11/7/2018), masih terendam luapan air Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Aktivitas warga, seperti terlihat di Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo, Sulsel, sebagian lumpuh total.
Berdasarkan pengamatan di sejumlah lokasi banjir, ketinggian air masih berkisar 50 sentimeter hingga 3 meter walau sebagian mulai surut. Di lokasi banjir, semua tempat harus dijangkau dengan berperahu.
Namun, jalan permukiman yang sempit, juga sebaran eceng gondok, membuat perahu kesulitan melaju. Warga bertahan di rumah-rumah panggung, di ruang setinggi kurang dari 2 meter antara batas muka air dan plafon. Sulitnya akses membuat mereka mandi dan mencuci dengan air genangan banjir.
”Saya pasang panggung tinggi di tengah rumah untuk tempat tidur dan memasak. Sebenarnya saya sudah mengungsi bulan lalu dan baru satu minggu balik. Air lumayan surut meski rumah masih terendam,” kata Ambo Sennag (50), warga Sengkang, pusat ibu kota yang berada sekitar 7 kilometer dari Danau Tempe, di sisi barat Kabupaten Wajo.
Sejak meluap Mei lalu, setidaknya 14.000 rumah terendam. Sebanyak 16.000 keluarga atau setara 50.700 jiwa terdampak. Delapan orang, sebagian anak-anak, dilaporkan tewas tenggelam.
Menurut Alamsyah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Wajo, banjir tahunan ini menimbulkan kerugian lebih besar. Taksiran sementara Rp 32,5 miliar, meliputi kerusakan sekolah, bangunan dan fasilitas kesehatan, kantor, rumah warga, jalan, serta jembatan.
Setidaknya 60 sekolah dan 40 masjid terendam. Jalan sepanjang 47 kilometer dan 17 jembatan juga terendam, belum termasuk daerah di luar Wajo.
Sekolah darurat
Terkait pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo menyiapkan sekolah darurat bagi pelajar yang sekolahnya terendam. Hingga Rabu sore, aktivitas belajar-mengajar belum bisa dilakukan meski musim libur bagi sebagian pelajar telah berakhir.
Di SDN 373 Laelo dan SDN 21 Salo Menraleng, misalnya, hampir tidak ada buku terselamatkan. Banjir sejak akhir Mei lalu itu tak hanya merendam bangunan, tetapi juga mengirim lautan eceng gondok. Di sejumlah kawasan permukiman dan sekolah, kondisinya ibarat kawasan yang mati.
Kartini (43), warga Watang Lipue, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, prihatin dengan pendidikan anaknya. ”Banjir terjadi tiap tahun dan setiap kali banjir, anak-anak tidak sekolah. Kalaupun ada sekolah darurat, kadang kondisi rumah yang terendam membuat kami sulit mengatur antar-jemput anak,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo Jasman Juanda menambahkan, Dinas Pendidikan menyiapkan sekolah darurat untuk ribuan pelajar yang sekolahnya terendam. Siswa SMP dan SMA libur dan bersiap masuk lagi pada Senin (16/7).
Tahun-tahun sebelumnya, Danau Tempe selalu meluap. Namun, luapan kali ini cukup besar dan hampir dua bulan. Meski ada delapan daerah yang menyumbang kerusakan kritis pada danau seluas 13.000 hektar itu, penduduk Wajo mengalami dampak terbesar dari luapan danau muara sejumlah sungai itu. (REN)