Komunikasi Publik, Pemimpin Dunia Paling Banyak Gunakan Twitter
›
Komunikasi Publik, Pemimpin...
Iklan
Komunikasi Publik, Pemimpin Dunia Paling Banyak Gunakan Twitter
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Twitter menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan oleh para pemimpin di seluruh dunia untuk berinteraksi dengan publik. Penggunaan media sosial dalam berkomunikasi dengan publik penting di era saat sejumlah besar masyarakat menggunakan media sosial secara aktif.
Dalam acara “International Seminar on Digital Diplomacy” di Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018), Kepala Kebijakan Publik Twitter Indonesia, Agung Yudha, mengemukakan, ada sebanyak 951 akun pemimpin di Twitter, 677 di Facebook, 403 di Instagram, dan 355 di Youtube.
Di Twitter, akun pemimpin yang memiliki paling banyak pengikut atau followers adalah President Amerika Serikat Donald Trump dengan jumlah pengikut lebih dari 52 juta orang.
Peringkat kedua adalah akun Paus Fransiskus dengan total pengikut sebanyak 47,5 orang, kemudian Perdana Menteri India Narendra Modi 42,5 juta orang, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan 12,9 juta orang, Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj 11,7 juta orang, dan Ratu Jordan Rania Al-Abdullah 10,6 juta. Orang. Presiden Indonesia Joko Widodo berada di posisi ke-10 dengan total jumlah pengikut sebesar 10,1 juta orang.
Apabila menggunakan variabel lain, ranking itu berubah. Misalnya, akun pemimpin yang mendapatkan paling banyak retweet bukan Trump, tetapi Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud. Dengan variable ini, Jokowi tetap berada di ranking ke-10.
“Engagement di Twitter berarti konten yang diterbitkan itu menarik bagi publik. Jawaban dari publik itu merupakan masukan bagi pemerintah mengenai persepsi publik,” kata Agung.
Sejumlah besar pengguna Twitter mengharapkan mendapatkan konten berita. Agus mengungkapkan, sebanyak 51 persen pengguna Twitter mengharapkan konten video berita. Sementara itu, harapan mereka di platform media sosial lain berbeda.
Sebanyak 44 persen Pengguna Facebook mengharapkan konten video yang viral. Di Instagram, 30 persen penggunanya mengharapkan konten hiburan.
Menurutnya, ada tiga kesalahan yang sering dilakukan oleh para pemimpin dalam menggunakan akun media sosialnya. Pertama, mereka mengelola akunnya di platform media sosial yang berbeda dengan cara yang sama. Padahal, setiap platform media sosial memiliki ciri-ciri dan tipe audiensya sendiri.
Kedua, penggunaan bahasa sering kali tidak sesuai dengan bahasa audiens yang ditargetkan. Ketiga, komentar publik penting untuk dijawab supaya mereka tertarik dengan akun itu. “Apabila anda tidak menjawab pertanyaan mereka, maka mereka tidak akan tertarik untuk mengikuti (follow) platform anda,” ujar Agung.
Pendiri DiploFoundation Jovan Kurbalija menambahkan, perlunya waktu untuk mengembangkan akun media sosial. "Untuk memahami penggunaan media sosial diperlukan sekitar satu bulan. Untuk mengembangkan akun media sosial yang kredibel, diperlukan sekitar satu tahun. Akun yang kredibel akan lebih ditanggapi oleh publik dan lebih mampu melawan dampak dari berita hoaks yang beredar," tuturnya.
Diplomasi membumi
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menekankan pentingnya bagi para diplomat bisa menggunakan media sosial untuk menjalin hubungan dengan publik, terutama karena Indonesia memiliki jumlah pengguna internet yang besar.
“Indonesia terdiri dari 143,26 juta pengguna internet, atau sekitar 50 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 262 juta orang. Indonesia juga merupakan salah satu pengguna terbesar platform media sosial,” tuturnya saat membuka acara “International Seminar on Digital Diplomacy”.
Bagi Retno, ponsel pintar dan teknologi digital sangat membantunya dalam bekerja. Ia sehari-hari menggunakan ponsel pintar dan media sosial untuk kerja dan berkomunikasi.
“Teknologi ini membantu saya bekerja dan merespons orang lebih cepat. Teknologi digital menghubungkan kita dengan masyarakat dan memungkinkan kita menciptakan diplomasi yang membumi. Diplomasi dan masyarakat tidak boleh dipisahkan,” ucapnya.
Duta Besar Kedutaan Besar Denmark Rasmuss Albildgaard Kristensen mengatakan, media sosial merupakan oportunitas juga tantangan bagi para diplomat. Diplomat dapat menyampaikan pesan kepada publik yang lebih luas dan berinteraksi bersama mereka. Untuk itu, diplomat dan duta besar perlu dilatih bagaimana menggunakan media sosial itu.
Direktur Umum Informasi dan Diplomasi Publik Kemenlu RI Cecep Herawan menambahkan, diplomasi bukan hanya tentang berinteraksi dengan audiens internasional tetapi juga kepada masyarakat lokal. “Diplomat juga harus menginformasikan dan mengedukasi publik mengenai kebijakan luar negeri,” ujarnya.
Seminar ini merupakan kolaborasi antara Kemenlu dan Pulse Lab Jakarta dan DiploFoundation. Keduanya adalah perusahaan teknologi informasi dan komunikasi yang mengumpulkan dan mengolah data untuk pemerintah dan organisasi internasional.
Seminar membahas di antaranya tentang bagaimana teknologi digital mengubah cara berdiplomasi, praktek diplomasi digital yang sudah ada. Seminar yang dibuka oleh Retno itu juga menghadirkan Wakil Kepala Kedutaan Besar Australia Allaster Cox, Kepala Studi Program Asean Habibie Center A Ibrahim Almuttaqi, Ketua Indonesia Youth Diplomacy Biondi Sanda Sima, Kepala Kantor Pulse Lab Jakarta Derval Usher, Direktor Indormasi dan Layanan Media Kemenlu RI Listiana Operananta, dan Wakil Serikat Telekomunikasi Internasional Asia Tenggara dan Timor Leste Syed Ismail Shah.