Revitalisasi yang Mereduksi Arti
Meski pelan, Kota Tua Jakarta terus berbenah. Sudut-sudut cantik mulai bermunculan. Publik pun gandrung. Secara umum, hal ini patut diapresiasi. Selain menambah ruang terbuka baru, publik jadi semakin mengenal Kota Tua. Namun, ada kesalahan prinsip pemugaran cagar budaya yang kini justru mereduksi nilai Kota Tua.
Matahari mulai tergelincir di sisi barat. Yadi (33) dan Usi (25) masih asyik bermain bulu tangkis di Jalan Kalibesar Timur, Kamis (12/7/2018). Angin sore berembus menepuk pipi. Usi semangat, tak kewalahan menerima umpan kok suaminya. Keduanya bermain di trotoar yang diresmikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, pekan lalu.
”Kemarin nonton Kota Tua di TV, bagus. Ya udah, sekalian aja bawa raket dan kok karena di rumah tidak ada lahan buat main bulu tangkis,” kata Yadi sambil mengayunkan raketnya. Ia dan istri; kakaknya, Teyo (37); serta seorang keponakannya berangkat dari rumahnya di Cipulir, Kebayoran Lama, dengan bersepeda motor.
Di sudut lain, suami istri berpakaian olahraga asyik joging. Keduanya membaur bersama pengunjung Kalibesar lain. Sekelompok anak muda memilih membidik dengan lensa kamera. Sebagian lain mengobrol di bangku-bangku pinggir kali.
Beranjak malam, Alif Yuda (17) dan tiga temannya berseluncur di atas papan skateboard. Ia memilih berselancar di atas jembatan yang sudah dilapisi papan kayu.
Ruang-ruang baru
Tahun 2015, Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu menjadi Gubernur DKI menugaskan arsitek Budi Lim (65) merevitalisasi Kalibesar menjadi ruang publik baru di Kota Tua. Dengan adanya ruang publik baru ini, pengunjung Kota Tua tidak cuma terkonsentrasi di Taman Fatahillah.
Sebagai pembanding, luas Taman Fatahillah cuma 1 hektar, luas ruang publik baru Kalibesar mencapai 5 hektar. Budi Lim menata ruang publik baru ini menjadi dua bagian. Taman di sisi barat dan timur seluas 3 hektar serta 2 hektar lainnya untuk wisata air jembatan apung dan taman di atas air.
Untuk menghubungkan areal taman Kalibesar, tiga jembatan dibangun sehingga memudahkan akses berkeliling taman. Salah satu jembatan baru menjadi akses pengunjung menuju Jalan Cengkeh. Salah satu sudut Jalan Cengkeh adalah pusat pedagang kaki lima (PKL) binaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Banyak kemajuan usaha revitalisasi Kota Tua ditunjukkan oleh mantan Gubernur Joko Widodo (kini Presiden RI) dan Basuki Tjahaja Purnama. Saat masih menjadi Gubernur DKI, Joko Widodo membentuk konsorsium beranggota sembilan perusahaan besar. Kesembilan perusahaan ini lewat mekanisme tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) menyewa gedung-gedung cagar budaya untuk direvitalisasi. Usai revitalisasi, gedung-gedung cagar budaya dimanfaatkan perusahaan sesuai kebutuhannya.
Dengan mekanisme inilah Pemprov DKI bisa merevitalisasi Kota Tua. Maklum, DKI tak bisa mengucurkan dana APBD untuk revitalisasi bangunan yang bukan miliknya. DKI cuma mengeluarkan dana revitalisasi taman, kali, trotoar, dan toilet.
Ada belasan gedung cagar budaya di Kota Tua yang akan, sedang, dan sudah direvitalisasi. Konsorsium merevitalisasi gedung-gedung milik BUMN yang dikelola PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, sedangkan sisanya di revitalisasi sendiri oleh pemiliknya, seperti revitalisasi Gedung Asuransi Jasindo di Taman Fatahillah,
Kegiatan revitalisasi ini setidaknya telah mengubah etalase jantung Kota Tua, Taman Fatahilah. Seluruh bangunan di sekeliling taman ini sudah menjadi ”baru” kembali. Bangunan "baru" yang paling menonjol adalah Gedung Jasindo dan Gedung Dasaad.
Ketika lokasi binaan PKL di Jalan Cengkeh, Pinangsia, Tamansari, diresmikan, Kamis (5/10/2017), Kota Tua tampak kian siap menjadi destinasi wisata atau setidaknya menjadi ruang publik yang lebih memikat. Ruang baru pun bertambah bagi pengunjung di Kota Tua menyantap hidangan dan memarkir kendaraan mereka. Ruang ini memperkaya sejumlah restoran dan penginapan di Kota Tua yang mulai tumbuh.
Saat dirancang sebagai Kota Kembar tahun 1650 oleh Simon Stevius, luas Kota Tua Batavia hanya 105 hektar. Kini, kata salah satu tim ahli cagar budaya, Candrian Attahiyat, sesuai Peraturan Gubernur DKI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua, luas Kota Tua, mencapai 334 hektar dengan 284 bangunan cagar budaya.
Tidak diakui
Menyoal Kota Tua, pada Jumat (6/7/2018), Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadjamuddin Ramly mengungkapkan, pemerintah pusat baru saja menarik berkas kawasan Kota Tua, Jakarta, yang akan diserahkan ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk mendapat pengakuan sebagai warisan dunia.
Menurut Nadjamuddin, ada tiga persoalan yang menjadi ganjalan agar Kota Tua, Jakarta, mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan dunia. Pertama, soal integritas kawasan. Kedua, soal otentisitas kawasan. Terakhir soal rencana induk pengelolaan kawasan.
Integritas kawasan Kota Tua seharusnya meliputi empat pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Onrust, Pulau Kelor, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir. Tanpa keempat pulau itu, otentisitas Kota Tua kurang memadai karena keempat pulau itu menjadi gudang rempah-rempah dan benteng pertahanan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, Pulau Onrust terkena zonasi reklamasi. Hal ini juga akan merusak otentisitas Kota Tua.
Pengelolaan Kota Tua, kata Nadjamuddin, juga menjadi kendala karena ada perbedaan kepemilikan.
International Council on Monuments and Sites (Icomos), organisasi pemberi rekomendasi ke UNESCO tentang warisan dunia, menyinggung soal perubahan yang terjadi di Kalibesar. Icomos menulis, seharusnya sebelum diubah, pelaksana didampingi dan mendengar saran pakar terkait Kota Tua.
Ditanya soal ini, Ketua Sidang Pemugaran Cagar Budaya DKI Bambang Eryudhawan mengatakan, ketika menerima berkas rencana perubahan Kalibesar, ternyata pembangunannya sudah hampir selesai. ”Ya, kami mau ngomong apa?” ucapnya, Sabtu (14/7).
Kota Tua bukan hanya sekadar ruang publik, melainkan juga ruang untuk belajar dan mengenal Jakarta lebih dekat. ”(Namun) Kota Tua sebenarnya bukan sekadar sejarah Jakarta, melainkan juga bagian dari sejarah perjalanan menjadi Indonesia,” kata Bambang.