Terhitung sejak aksi teror bom Surabaya pada Mei lalu, polisi telah menangkap 200 terduga teroris. Polisi terus mengejar orang-orang yang diduga terlibat dengan aksi tersebut.
JAKARTA, KOMPAS- Kepolisian Negara RI memprioritaskan upaya pencegahan terhadap ancaman kelompok teroris. Dalam dua bulan terakhir, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menangkap sekitar 200 terduga teroris yang merencanakan aksi teror di Tanah Air.
Pada akhir pekan lalu, tim Densus 88 Antiteror melakukan dua tindakan tegas kepada terduga teroris. Pertama, tindakan dilakukan pada Sabtu (14/7/2018) petang, di Jalan Kaliurang Kilometer 9, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga menyebabkan tiga terduga teroris tewas. Kemudian, Minggu (15/7), tim Densus 88 Antiteror menangkap sepasang suami-istri, GL (25) dan N (26), yang merencanakan penyerangan Markas Kepolisian Resor Indramayu, Jawa Barat, dengan menggunakan bom rakitan.
Aksi tim Densus 88 Antiteror itu, ujar Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, merupakan inisiatif kepolisian untuk menghentikan dan mencegah ancaman serangan teror yang telah direncanakan kelompok teroris.
”Peristiwa di Yogyakarta dan Indramayu bukan serangan teror yang diinisiasi dan diinspirasi mereka (kelompok teroris), tetapi hal ini adalah operasi pengawasan, operasi penjejakan, dan operasi pengejaran dalam rangka penangkapan jaringan terorisme,” ujar Tito, Senin (16/7), di Markas Komando Brigade Mobil, Depok, Jawa Barat.
Pengejaran itu, lanjut Tito, didasari hasil pengembangan peristiwa teror di Surabaya, Mei lalu. Insiden itu membuat tim Densus 88 Antiteror mampu menangkap anggota dan masuk ke dalam jaringan kelompok itu.
Aksi teror di Surabaya dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Anggota JAD pula yang menyerang personel kepolisian di Sleman, Sabtu lalu. Sementara itu, suami-istri yang ditangkap di Indramayu adalah anggota kelompok Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), cabang simpatisan JAD.
Untuk memperkuat langkah pencegahan, Tito menambahkan, phaknya telah memerintahkan seluruh kepolisian daerah (polda) untuk membentuk satuan tugas (satgas) antiteror. Satgas itu berisi 30 hingga 100 personel kepolisian, tergantung peta wilayah setiap polda. Tugas satgas, menangkap semua individu yang terlibat aksi teror dan kelompok teroris, mulai dari penyebar ideologi, pemberi inspirasi, pelaku, penyedia anggaran, pendukung, hingga para pihak yang menyembunyikan informasi atau pelaku teror.
”Kami berhadapan bukan dengan pelaku biasa, mereka siap mati. Oleh karena itu, kalau mereka mengancam petugas atau masyarakat, kami bisa melakukan tindakan tegas, termasuk kekuatan mematikan,” tuturnya.
Dari 200 terduga teroris yang ditangkap, 20 orang di antaranya meninggal karena melawan saat akan diamankan.
Peran masyarakat
Secara terpisah, peneliti antiterorisme Certified Counter Terrorism Practioner, Rakyan Adibrata, mengapresiasi kemampuan pencegahan tim Densus 88 Antiteror. Namun, ia menegaskan, perang terhadap terorisme tak bisa hanya menggunakan pendekatan hukum. Dibutuhkan program lunak atau manusiawi, seperti deradikalisme dan kontra radikalisme.
Rakyan menekankan, pemberantasan terorisme pun tidak bisa hanya melibatkan pemerintah dan aparat hukum. Perlu ada sinergi dengan masyarakat untuk meningkatkan daya tangkal di lingkungan masing-masing.