Demi Sekolah Favorit
Begitulah dorongan alami orangtua yang ingin memberikan yang terbaik bagi anak, termasuk soal sekolah. Ketika ada kebijakan baru zonasi, yang mengutamakan jarak tempuh sekolah dari rumah sebagai faktor utama diterimanya siswa, orangtua pun harus memikirkan berbagai strategi.
Keinginan pemerintah meratakan kualitas sekolah dinilai belum diikuti perubahan kualitas sekolah. Orangtua pun jadi gamang. Sebagian tetap bersikeras mengejar sekolah yang dinilai bagus, di mana pun lokasinya, dan bagaimanapun caranya.
Berbagai cara kemudian ditempuh. Mulai dari memindahkan status domisili anak ke kartu keluarga lain hingga ”memiskinkan” diri demi selembar surat keterangan tidak mampu (SKTM). Di provinsi tertentu, seperti di Jawa Tengah, sekolah diwajibkan mengalokasikan kuota untuk siswa tidak mampu yang ditandai dengan SKTM. Berapa pun nilainya, sepanjang anak membawa SKTM, sekolah akan menerimanya.
Tiana, misalnya, harus menghibur anaknya, Jasmine, yang gagal masuk dua SMP negeri incarannya, yakni SMPN 50 dan SMPN 8 Bandung. Walaupun jarak dari rumah menuju dua sekolah tersebut hanya 1 kilometer dan 500 meter, Jasmine yang nilai ujian nasional (UN)-nya cukup tinggi tetap terpental dari daftar yang diterima.
”Jarak maksimal yang diterima 448 meter, sementara rumah kami jaraknya 558 meter dari sekolah. Meskipun nilai UN anak saya lebih tinggi, tetap tidak masuk karena kalah jarak. Anak saya kecewa, sampai menangis karena sudah membayangkan sekolah di SMP yang diinginkan. Kakaknya dulu sekolah di situ. Dia juga bermimpi bisa ikut ekstrakurikuler(ekskul) basket di SMP itu,” tutur Tiana, warga Kelurahan Pasirjati, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (21/7/2018).
Karena tidak diterima di sekolah negeri, Tiana lantas jungkir balik mencari sekolah swasta agar anaknya tetap bisa bersekolah. Pilihan jatuh pada SMP Laboratorium UPI yang jaraknya dari rumah 3 kilometer. Beruntung, sepekan setelah sekolah, Jasmine menyukai sekolah barunya itu. Terlebih ada ekskul tari modern yang ia sukai.
”Sebenarnya, kami bukan mengejar sekolah favorit. Lebih pada sekolah negeri karena biayanya terjangkau. Kalau masuk SMP negeri, kami hanya perlu keluar uang Rp 1,1 juta. Dengan masuk sekolah swasta ini, saya harus menguras seluruh tabungan karena biaya masuknya 10 kali lipat,” ungkap Tiana.
Pengalaman lain diungkapkan Febriyanti (45), warga Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Ia berusaha mati-matian agar anaknya bisa masuk SMPN 115 Jakarta yang dianggap favorit. Anaknya sendiri ingin masuk SMP Labschool Jakarta dan sudah lolos tes, Februari lalu.
”Saya mendaftar lewat jalur umum karena SMPN 115 tidak masuk area kecamatan saya atau kecamatan yang beririsan sesuai aturan zonasi,” kata Febri, panggilannya.
Febri memang separuh bertaruh demi mengejar sekolah yang diinginkan. Ia tidak mendaftarkan anaknya di SMPN dekat rumah. Kualitas, kegiatan ekskul di sekolah, dan jarak rumah ke sekolah menjadi pertimbangan. Pada akhirnya, Febri menyekolahkan anaknya ke SMP Labschool Jakarta karena jaraknya hanya 1 kilometer dari rumah dibandingkan ke SMPN incaran yang berjarak 10 km.
”Kalau SMA tetap harus ke negeri yang bagus. Sebab, kalau mau masuk PTN (perguruan tinggi negeri) jalur prestasi, PTN itu masih melihat asal-usul sekolah,” ucap Febri.
Belum siap
Keribetan berburu sekolah negeri favorit juga dialami Dewi ketika mendaftarkan anaknya, Gaby, ke sekolah di luar domisili. Dewi yang memegang KTP DKI Jakarta tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. Ia mendaftarkan Gaby ke sekolah negeri terdekat, SMAN 2 Tangsel.
Namun, ia mengalami kesulitan dan bahkan sempat dongkol karena prosedur pendaftaran luar domisili yang rumit. Untungnya, Dewi juga tetap mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri sesuai wilayah domisili KTP-nya. ”Anak kami dari TK di sekolah swasta. Kini mau coba masuk SMA negeri. Sebab, kata kepala sekolahnya, sekolah bakal bangga kalau siswanya masuk negeri,” kata Dewi.
Mendaftar sekolah di dua provinsi berbeda, yaitu DKI Jakarta dan Banten, Dewi lantas punya pembanding dan bisa membedakan profesionalisme layanan yang diberikan. Awalnya, Dewi memproses pendaftaran anaknya di DKI Jakarta yang menurut dia sangat rapi. Mulai dari pra-pendaftaran hingga akhirnya anaknya diterima di SMAN 86 Jakarta.
Namun, karena masih penasaran untuk menyekolahkan anaknya di SMA favorit di Tangsel, ia bermaksud mendaftar ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah mereka. Sambil menunggu proses prapendaftaran daring di DKI Jakarta, ia mengajak anaknya mendaftar dan mengambil nomor token registrasi ke sekolah negeri favorit di Tangsel itu.
”Kami ke sana tidak ada petugas, tidak ada informasi apa pun. Semua kebingungan karena ternyata server off dari provinsi,” ujar Dewi. Tak pelak, ibu dan anak itu batal melanjutkan pendaftaran.
Selama proses pendaftaran, baik Dewi maupun Gaby sama- sama tegang. Mereka mengecek pergerakan peringkat pendaftaran hampir setiap menit secaradaring.
Keterbatasan
Keterbatasan kondisi ekonomi sebagian siswa, keberadaan sekolah yang belum merata, dan teknologi yang belum sepenuhnya siap masih menyisakan persoalan di lapangan. Fenomena ini diungkapkan anggota Ombudsman RI, Ahmad Su’adi, dalam bincang-bincang, Rabu (18/7), di Jakarta.
Ia mengungkapkan fakta adanya 150 lulusan SMP di Bandung yang belum mendapat sekolah. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad mengatakan, terkait hal itu, dinas pendidikan setempat diminta mencarikan sekolah bagi anak-anak tersebut. Jika harus masuk sekolah swasta dan siswa tidak mampu, agar dibantu pembiayaannya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Jakarta, M Abduhzen, mengatakan, kerepotan orangtua setiap awal tahun ajaran diakibatkan mutu sekolah yang senjang dan beragam. Secara naluriah, orangtua menginginkan anaknya masuk sekolah yang dianggap baik.
Sistem zonasi sebenarnya dimaksudkan untuk mengatasi persoalan sulitnya mencari sekolah. ”Sistem zonasi akan berdampak baik bagi pemerataan mutu sekolah. Namun, penerapannya secara murni saat ini akan bermasalah karena merugikan anak-anak pintar dan bisa menurunkan peringkat kualitas sekolah jika tidak diantisipasi dengan tepat,” kata Abduhzen.
Menurut dia, perlu perbaikan terkait sejumlah aspek, di antaranya pendataan jumlah lulusan, daya tampung sekolah dan sebarannya, serta pembagian zona secara berimbang antara lulusan dan daya tampung. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan kombinasi zona dan nilai akademis guna mengantisipasi berlebihnya daya tampung. Perlu dicari pula alternatif lain dari SKTM bagi murid dari keluarga tidak mampu. Tak ketinggalan, butuh upaya pemerataan mutu sekolah secara serius.