GRESIK, KOMPAS - Petani di sepanjang pantai utara Jawa Timur mulai Kabupaten Gresik, Lamongan, Bojonegoro, hingga Tuban kian kewalahan mencari sumber air. Krisis berlanjut hingga Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat.
Kekeringan mulai melanda wilayah itu sejak Juni, yang mengancam produktivitas bahan pangan. Hingga kini, belum ada solusi selain mengirim tangki-tangki air ke sejumlah desa.
Di Bojonegoro, embung (waduk kecil penampung air) di 26 desa di 10 kecamatan mengering, di antaranya di Kecamatan Gondang Tambakrejo, Kasiman, Kedungadem, Kepohbaru, Sukosewu, Bubulan dan Ngraho. Petani yang memaksa tanam padi terancam gagal panen.
Di Desa Bungur, 200 ha padi kekurangan air, sebagian mati, butir padi menghitam. Abdul Hadi (38), warga Kanor menyebutkan, padi kekurangan air sejak umur 60 hari. “Saluran irigasi mengering sejak Juni,” katanya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro sudah mengingatkan kondisi darurat kekeringan mengingat mulai Juni-Agustus 2018 curah hujan rendah. Kepala Pelaksana BPBD Bojonegoro Andik Sudjarwo menyebut, jika warga membutuhkan air bersih bisa mengajukan ke desa, lalu camat. BPBD siap memasok air bersih.
Di Tuban, warga juga mulai kesulitan air bersih. BPBD Tuban mulai memasok air bersih ke area terdampak kekeringan.
Bahu membahu
Di Gresik, tujuh kecamatan terdampak kekeringan, antara lain Balongpanggang, Cerme, Kedamean dan Menganti. Air telaga andalan warga menyusut dan kotor. Bahkan ada yang mengering, seperti di Kalipadang, dan Metatu, Kecamatan Benjeng.
Data BPBD Gresik, 63.4558 jiwa atau 15.128 keluarga di 26 desa di enam kecamatan itu terdampak kekeringan. Waduk desa di Desa Nglampah dinormalisasi warga bersama TNI agar bisa penampung air saat hujan.
Tanaman padi di Kecamatan Menganti yang rata-rata berumur 70 hari dipastikan puso. Khoirul (48), petani Desa Kepatihan memastikan rugi musim ini. Petani sulit mempertahankan tanaman padi.
Di Lamongan, Kepolisian Resor Lamongan ikut membantu mengirimkan empat truk tangki air bersih, masing-masing 5000 liter. Adapun BPBD Lamongan menyiapkan 270 tangki air.
Di Kabupaten Indramayu, Jabar, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kandanghaur Waryono mengatakan, 2.000 hektar sawah di Kandanghaur puso akibat kekeringan. Tanaman padi yang mati baru berusia dua bulan.
“Ini sudah tidak bisa diselamatkan. Seharusnya, kondisi ini bisa diantisipasi karena Kandanghaur rawan kekeringan,” ujarnya. Luas sawah yang puso itu setara 12.000 ton gabah kering giling (GKG) jika produksi rata-rata enam ton GKG per hektar. Dengan lahan 116.000 ha, Indramayu menghasilkan hingga 1,7 juta ton GKG per tahun.
Menurut dia, tata kelola air tidak maksimal. Pasokan air irigasi, misalnya, hanya dibatasi 36 jam. Pengairan itu harus digilir dengan daerah lain.
Kekeringan juga melanda Kabupaten Cirebon. Tercatat 225 ha sawah terancam puso yang bisa mengancam produksi padi nasional. Provinsi Jabar menyumbang 17 persen beras nasional.
Kondisi NTT
Kekeringan juga melanda sepuluh kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sejumlah desa di sana terpaksa mengonsumsi sisa air di sungai. Bahkan, meneteskan air dari batang pisang. Puncak kemarau baru September-November.
“Kekeringan itu terjadi setiap tahun. Jika dibandingkan periode sama 2017, kekeringan kali ini hampir sama, yakni sembilan kabupaten,” kata Kepala BPBD NTT Tini Tadeus di Kupang.
Informasi dari BMKG Stasiun Klimatologi Kupang, sepuluh kabupaten mengalami kekeringan parah, sembilan kabupaten kekeringan sedang, dan tiga kabupaten ringan. Jika tidak diantisipasi dini, maka status sedang dan ringan akan meluas menjadi merah.
Data dari Klimatologi Kupang menyebutkan, sepuluh kabupaten yang mengalami kekeringan ekstrem, yakni Manggarai Timur, Sikka, Sumba Timur, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Lembata, Timor Tengah Selatan, Malaka, Sabu Raijua, dan Flores Timur. Kekeringan itu tidak meluas di seluruh kabupaten, tetapi terjadi di desa-desa tertentu di kabupaten itu. (IKI/KOR)