logo Kompas.id
Lain-lainDjuki Ridwan28 Tahun yang...
Iklan

Djuki Ridwan28 Tahun yang Membanggakan

Oleh
Herlambang Jaluardi
· 6 menit baca

Pembangunan patung raksasa Garuda Wisnu Kencana atau GWK di Desa Ungasan, Kabupaten Badung, Bali, selayaknya pertunjukan musik orkestra. Djuki Ridwan (54) adalah "konduktor" yang menyelaraskan keterampilan 150 pekerja pilihan dalam membawakan karya Nyoman Nuarta. Ia bertungkus-lumus selama 28 tahun."Pak Djuki senyum, Pak Djuki senyum," begitulah kira-kira seruan pekerja PT Siluet Nyoman Nuarta, Selasa (31/7/2018) siang, di lokasi proyek. Ia memperlihatkan video momen itu pada Kamis (2/8). Serombongan pekerja itu mengarak keping terakhir GWK yang diangkut dengan truk menuju dasar patung.Wajar saja para pekerja berseru-seru demikian. Sepekan terakhir adalah momen kritis pembangunan GWK. Mereka terikat tenggat penyelesaian. Pemasangan modul itu harus kelar per 1 Agustus. Bidang yang harus mereka selesaikan adalah bagian atas ekor garuda, yang luasnya hampir setara hanggar pesawat. Sementara itu, pasokan bahan baku sedang terkendala. Faktor alam pun memberi tantangan tersendiri. Saat itu angin di Bukit Ungasan, tempat patung didirikan, sedang kuat-kuatnya. Konon kekuatan anginnya sampai 12 knot, setara 22 kilometer per jam, yang bisa menggulingkan galon berisi air. Modul seberat 1,5 ton yang sedang dikerek dengan crane bisa berputar-putar. Modul adalah susunan keping tembaga yang berukuran sekitar 3 x 4 meter sebagai komponen kulit patung. Kesulitan-kesulitan itulah yang membuat senyuman di wajah Djuki -yang biasanya ramah-memudar. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasi kekuatan angin kecuali dengan mencermati perkembangan dari menit ke menit. "Soal bahan baku ini, banyak teman yang membantu proyek GWK. Mereka memberi tahu di mana bisa mendapatkannya," kata Djuki, manajer proyek pembangunan patung GWK. Bahan baku, sebanyak 200 lempeng tembaga, akhirnya diperoleh dari Jakarta. Pengirimannya terbilang lancar sampai di tanjakan Ungasan, tak jauh dari lokasi. Nyoman Nuarta mengatakan, ada kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan macet berjam- jam. "Itu bikin pusing juga karena waktu tinggal tiga hari lagi," katanya. Sisa pekerjaan dikerjakan secara militan dalam tiga hari terakhir. Para seniman patung dan teknisi di bawah komando Djuki, diibaratkan Nyoman, bekerja seperti kesurupan dan berhasil merampungkan modul-modul sayap atas itu pada hari terakhir di bulan Juli. Modul dengan bobot sekitar 1,5 ton diangkut dengan truk dari lokasi bengkel menuju area bangunan sekitar 500 meter. Pekerja ikut menumpang di truk dan sebagian lainnya mengaraknya dengan berjalan kaki. Djuki ada di antara mereka.Suasananya gegap gempita karena itu merupakan kepingan-kepingan yang bakal menggenapi patung dengan total luas kulit berbahan tembaga dan kuningan mencapai 2,5 hektar. Mereka juga cemas penuh harap pekerjaan pada hari itu lancar. Modul ke-754 mulai dikerek sekitar pukul 23.00. Modul itu akan ditempatkan di titik tertinggi dan paling belakang pada patung dengan bentuk menyerupai jambul. Ruang bagi pekerja di sisi itu tergolong sempit. Sekitar 15 menit menjelang pukul 00.00 modul terakhir terpasang, menggenapi keutuhan patung. Bendera Merah Putih pun dipancangkan. Mereka bersorak dan berpelukan. Djuki menyeka air mata. "Itu momen paling mengharukan. Kalau diingat-ingat, saya jadi cengeng, deh," katanya dengan sorot mata menyendu. Teknik pembesaranTak heran dia terharu. Djuki ada di proyek ini sejak di tahap perencanaan, pada 1989. Jika diibaratkan anak, proyek itu berumur lebih tua ketimbang anak sulungnya, Julian Pratama Ridwan, yang kini berumur 21 tahun. Ketika bergabung di proyek GWK, Djuki baru dua tahun bekerja untuk Nyoman Nuarta, sebagai staf divisi teknologi informatika. Kala itu, Nyoman sedang mengerjakan Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) di Surabaya, yang terpasang pada 1993. Tinggi patung sosok perwira angkatan laut itu 30 meter. Ukurannya yang besar sudah menantang bagi Djuki. Maka begitu tahu Nyoman merencanakan patung berikutnya yang jauh lebih besar, Djuki langsung menerima tantangan itu. Pengerjaan proyek Monjaya dilakukan simultan dengan perencanaan GWK. Patung Monjaya dikerjakan dengan teknik pembesaran. Nyoman membuat patung dalam ukuran lebih kecil sebagai model. Djuki, sebagai staf yang menangani urusan perangkat lunak komputer, menghitung skala pembesarannya, juga ukuran kepingan yang membuat patung tidak kehilangan bentuk asli."Pak Nyoman mengajak diskusi tim produksi, \'Bisa enggak model ini dibesarkan\'. Saya belum pernah mencoba, dan waktu itu muncul software AutoCAD. Menurut saya, gagasan Pak Nyoman bisa diterapkan dengan sistem komputerisasi," kata Djuki. Cara itu berhasil. Teknik pembesaran itu mendapat hak paten dari Kementerian Kehakiman dengan nomor 009388 pada 1993, dengan nama "teknik pembuatan patung organis dengan menggunakan pembesaran skala dan pola segmentasi". Teknik inilah yang kelak dipakai di proyek patung GWK, dengan model setinggi 3,5 meter dan lebar 3 meter. Ukuran GWK-dua kali lipat Monjaya-membutuhkan teknologi yang lebih rumit. Patung GWK dirancang mampu menahan gempa, angin kencang, sambaran petir, dan diharapkan tahan sampai 100 tahun-standar daya tahan bagi bangunan monumen. Ukuran dan segala prasyarat teknis diuji beberapa kali, termasuk di Melbourne (Australia) dan Toronto (Kanada). Hasilnya, patung ini dipercaya tetap teguh didera gempa bumi berkekuatan 8 skala Richter, angin sekencang 250 km per jam, dan bisa menyerap energi listrik dari petir. Daya manusiaBangunan raksasa tak melulu berbicara tentang teknologi. Ada sumber daya manusia yang bekerja keras mewujudkannya. Djuki menyadari benar hal ini. Dia mencari orang-orang berpengalaman, terutama dalam hal spesifik, seperti pengelas logam, juga pemanjat tebing yang terbiasa bergelantungan. "Mungkin ada banyak tukang las. Tapi, yang bisa mengelas tembaga dengan bahan kuningan itu jarang. Kami memberikan pelatihan khusus berbulan-bulan kepada mereka," kata Djuki. Para pekerja itu harus tangguh menyesuaikan medan kerja di ketinggian dengan pijakan 80 sentimeter saja. Empasan angin juga bisa membuat gamang. Mereka selalu dilengkapi dengan instrumen keselamatan, seperti sarung tangan, helm, dan pengait tali. Asupan vitamin dan makanan bergizi pun diberikan secara rutin. Tekanan darah para pekerja diperiksa. Jika ada yang kelelahan, diizinkan untuk istirahat. Menurut Djuki, hingga hari ini, proyek itu bebas kecelakaan kerja. "Di setiap saat krusial, saya harus hadir di sana untuk menjaga semangat pekerja," kata Djuki yang sehari-harinya indekos di sekitar area proyek. Sebagian besar pekerja dibawa dari Bandung, Jawa Barat, tempat studio Nyoman Nuarta. Mereka tinggal di mes, dikelompokkan sesuai dengan bidang kerja masing-masing. Menilik pekerjaan ini berlangsung amat lama, apakah Djuki pernah merasa jenuh? "Jenuh itu wajar, apalagi ketika menunggu kepastian kelanjutan proyek. Tapi, saya yakin proyek ini bakal jadi karena secara teknis masih mungkin dilakukan. Pak Nyoman dan teman-teman (pekerja senior yang bergabung sejak awal proyek) selalu memberi semangat," kata Djuki. Atas keteguhan itulah Djuki dielu-elukan, ketika modul terakhir terpasang, dan diusung seperti Didier Deschamp, manajer tim sepak bola Perancis, saat menjuarai Piala Dunia 2018. Djuki RidwanLahir: Bandung, 7 Mei 1964Istri: Nia RosyiortiwatiAnak: Julian Pratama Ridwan dan Adrian Augustava RidwanPendidikan: D-3 Informatika, AMIK BandungJabatan:- Project Manager Garuda Wisnu Kencana- Direktur PT Siluet Nyoman NuartaBeberapa keterlibatan proyek:- Monumen Jalesveva Jayamahe, Surabaya- Garuda Wisnu Kencana - Patung Arjuna Wijaya, Jakarta- Patung Sultan Hasanuddin, Makassar

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000