logo Kompas.id
Lain-lainKita Belum Siaga Gempa
Iklan

Kita Belum Siaga Gempa

Oleh
Abdul Muhari Praktisi Mitigasi Bencana, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group
· 6 menit baca

Belum selesai masa tanggap darurat akibat gempa Lombok 28 Juli 2018 yang memakan korban 20 orang tewas, masyarakat Indonesia-khususnya di Nusa Tenggara Barat, terutama Bali dan Lombok-kembali dikejutkan gempa berkekuatan M 7,0. Gempa ini merusak kawasan bagian utara Pulau Lombok dengan dampak guncangan yang dirasakan sampai ke Bali. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 98 korban jiwa dan 236 korban luka-luka. Jumlah ini masih berpotensi akan terus bertambah. Sekali lagi, pertanyaan nyinyir harus dikemukakan untuk mengevaluasi kesiapsiagaan kita setelah rangkaian gempa Aceh 2004, Nias 2005, Yogyakarta 2006, Padang 2009, dan Aceh lagi (Pidie Jaya) 2016. Apa yang sudah kita lakukan untuk benar-benar mengurangi potensi kerusakan dan korban jiwa akibat gempa?Meskipun menelan jumlah korban jiwa cukup banyak dan perhitungan kerugian material akibat kerusakan bangunan dan infrastruktur masih berjalan, menurut saya, kita tetap harus bersyukur bahwa kejadian gempa dengan pusat gempa di darat pada kedalaman yang sangat dangkal (15 km versi BMKG dan 31 km versi Badan Geologi Amerika) terjadi di kawasan yang relatif tidak terlalu padat penduduk dan infrastruktur. Pengalaman saat gempa mengguncang daerah Yogyakarta tahun 2006 menunjukkan, meskipun magnitudonya (M) 6,4, gempa tersebut mengakibatkan kerusakan sangat dahsyat karena patahannya terjadi di kawasan padat penduduk. Pelajaran dari gempaKejadian pelbagai gempa sebelumnya sebenarnya sudah memberikan kita pelajaran yang sangat jelas bahwa bukan gempa yang membunuh, melainkan bangunan dan infrastruktur yang dibangun tanpa memenuhi standar tahan gempa. Di lokasi gempa mana pun di dunia, korban tewas mayoritas karena tertimpa reruntuhan atau terjebak dalam bangunan roboh karena tidak tahan gempa. Oleh karena itu, jika kita bicara kesiapsiagaan menghadapi gempa, maka arah diskusi haruslah ke penguatan bangunan dan infrastruktur agar tahan gempa. Kesiapsiagaan terhadap gempa bukan berarti kesiapan untuk "evakuasi" seperti halnya tsunami atau bencana letusan gunung api. Kenapa? Karena jika bencana gunung api potensi bahayanya dapat diperkirakan beberapa jam sampai beberapa hari sebelumnya-atau dalam hal tsunami kita memiliki waktu beberapa menit sampai beberapa jam setelah gempa sebelum gelombang datang-untuk evakuasi. Pada kasus gempa tidak ada tanda-tanda awal sebelum gempa, yang bisa menjadi petunjuk bagi masyarakat agar bisa menyelamatkan diri atau setidaknya keluar dari bangunan. Pengalaman gempa-gempa besar yang merusak, seperti gempa tahun 1995 di Kobe, Jepang, dan gempa Yogyakarta 2006 dan Padang 2009 di Indonesia, guncangan yang merusak saat gempa terjadi kurang dari 20 detik. Maka, pertanyaannya kemudian, sejauh mana kita bisa berlari atau keluar rumah dan gedung dalam kondisi gempa mengguncang, dalam waktu kurang dari 20 detik?Mendesak untuk mitigasiFakta-fakta di atas menunjukkan bahwa arah diskusi mitigasi gempa dalam konteks implementasi haruslah dalam bentuk-bentuk mitigasi struktural. Untuk kasus Jepang, misalnya, berpedoman pada kerusakan akibat gempa tahun 1995 di Kobe, Pemerintah Jepang mengalokasikan dana yang sangat besar untuk membangun struktur penguat (retrofitting) di 18.240 bangunan sekolah. Mereka mengaudit total 48.000 bangunan sekolah dan menemukan bahwa 38 persen dari bangunan sekolah tersebut tidak tahan gempa. Ada dua hal yang sangat penting di sini. Pertama adalah audit bangunan dan kedua penguatan struktur bangunan. Untuk bangunan-bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan bangunan perumahan, audit ketahanan struktur harus dilakukan secara berkala. Sekiranya bangunan dari awal tidak didesain untuk tahan gempa seperti umumnya bangunan di Indonesia, maka penguatan struktur (retrofitting) harus dilakukan. Proses ini harus dimulai dari sekarang di seluruh lokasi rawan gempa di Indonesia. Berbasis daerahImplementasi dari proses di atas bisa dilakukan dengan berbasis pada kabupaten/kota sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB). Kenapa? Karena ke depan konsep peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana harus berbasis pemerintah daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan demikian, tidak semua kejadian bencana harus direspons langsung oleh kepala negara, atau tidak semua kejadian tanggap darurat pasca-bencana harus ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sudah saatnya daerah juga memiliki kemandirian dan kesiapsiagaan yang baik dan benar dalam menghadapi bencana. Saat gempa dan tsunami Jepang pada tahun 2011, hampir semua kota pesisir di Jepang yang terdampak tsunami terlokalisasi akibat hancurnya prasarana perhubungan seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandar udara. Butuh waktu setidaknya satu minggu untuk negara sesiap Jepang sekalipun dalam menghadapi bencana untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas penting dalam fase tanggap darurat. Tujuannya agar bantuan bisa segara disalurkan. Pada fase kritis di mana daerah terlokalisasi akibat bencana inilah, kemampuan masyarakat dan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang ada sangat penting untuk bisa bertahan secara mandiri. Di samping mengurangi potensi dampak kerugian materiil, kesiapsiagaan daerah juga akan sangat berperan dalam mencegah bertambahnya korban jiwa pasca-bencana. Butuh biaya? Jelas! Kita memang sudah saatnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mitigasi bencana. Di negara-negara dengan sistem penanggulangan yang baik, seperti Jepang, setiap level pemerintahan mulai dari nasional sampai daerah mengalokasikan setidaknya 1 persen dari total anggaran tahunan untuk kegiatan mitigasi bencana (T Pardede, 2014). Kemudian, jangan lupa, fase yang paling baik untuk memulai kegiatan mitigasi bencana yang terintegrasi dalam pembangunan adalah saat rekonstruksi pasca-bencana. Itulah sebabnya rekonstruksi di negara-negara dengan sistem penanggulangan bencana yang baik mengalokasikan setidaknya 10 persen dari anggaran rekonstruksi untuk membangun sarana dan prasarana mitigasi bencana: baik struktural maupun nonstruktural. Jadikan lebih baikKonsep rekonstruksi build back better harus menjadi dasar dan benar-benar diwujudkan. Jangan lagi kita membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan perumahan pasca-bencana di kawasan yang sama persis dengan lokasi sebelumnya dan dengan kualitas yang tidak jauh berbeda pula dengan kualitas bangunan sebelum gempa.Regulasi dan aturan-aturan yang menunjang penguatan komponen fisik bangunan sebenarnya telah lama tersedia. Ada SNI 1726-2002, SNI 1726-2012, hingga Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa oleh Kementerian PU yang dikeluarkan tahun 2006. Oleh karena itu, sekarang dan ke depan, kita sebagai masyarakat sekaligus obyek yang berpotensi terdampak bencana seperti gempa juga harus memahami bahwa mitigasi gempa berawal dari kesadaran individu per individu. Mari kita perhatikan rumah dan properti kita masing-masing, sedapat mungkin kita benahi sekiranya belum mengadopsi ketentuan-ketentuan bangunan tahan gempa. Teknologi penguatan bangunan mulai dari yang sederhana dengan menggunakan anyaman bambu untuk melapisi susunan bata di dinding rumah sampai yang advanced seperti rangkaian pembesian dan penggunaan pompa hidrolik untuk bangunan tinggi dengan mudah bisa didapatkan di laman-laman dunia maya. Tinggal sekarang pertanyaannya, kita mau berubah atau tidak?

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000