JAKARTA, KOMPAS—Penderita hipertensi dianjurkan untuk memodifikasi gaya hidupnya menjadi lebih sehat dibandingkan hanya mengandalkan obat dalam mengontrol tekanan darahnya. Hal itu disebabkan perilaku hidup tak sehat turut berpengaruh besar terhadap tekanan darah tinggi.
Ketua Panitia May Measurement Month, Bambang Widyantoro, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (7/8/2018), mengatakan, berdasarkan hasil survei terhadap 70.000 orang yang diukur tekanan darahnya tahun 2017, ditemukan sekitar 20.000 orang dengan hipertensi, dan 12.000 orang di antaranya telah mengonsumsi obat antihipertensi.
Namun, dari 12.000 orang itu hanya separuhnya mampu mencapai target tekanan darah diinginkan. “Di antara mereka yang belum berhasil mengontrol tekanan darahnya, ada 2.800 orang di antaranya yang memiliki tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg,” katanya.
Di antara mereka yang belum berhasil mengontrol tekanan darahnya, ada 2.800 orang di antaranya yang memiliki tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.
Oleh karena itu, penderita hipertensi dianjurkan untuk tidak hanya bergantung pada obat dalam mengontrol tekanan darahnya. Modifikasi gaya hidup sehat perlu dilakukan dengan tidak merokok, makan makanan yang sehat, atasi stres, dan olah raga teratur.
Perokok aktif
Hal itu disebabkan hasil survei menunjukkan masih ada 19 persen penderita hipertensi yang masih merokok aktif. Padahal, hipertensi meningkatkan risiko stroke 11 kali lebih tinggi dan serangan jantung koroner 8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tekanan darahnya normal.
May Measurement Month merupakan program inisiatif International Society of Hypertenson (ISH) yang didukung World Hypertension League (WHL). Itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengukur tekanan darahnya. Program itu dilakukan dengan mengukur tekanan darah jutaan orang di dunia selama Mei, bulan di mana terdapat Hari Hipertensi Sedunia (17 Mei).
Di Indonesia, pada tahun 2017 penguukuran tekanan darah telah dilakukan pada 70.000 orang yang tersebar di 34 provinsi. Pada tahun 2018 jumlah orang yang diukur tekanan darahnya meningkat jadi 120.000.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH) Tunggul Situmorang, mengatakan, setiap peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik 20/10 mmHg meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dua kali lipat. Bersama diabetes melitus, hipertensi menjadi faktor risiko dominan penyakit kardiovaskular seperti stroke dan penyakit jantung.
Sementara data Indonesia Renal Registry (IRN) tahun 2015, menunjukkan, 35 persen pasien yang menjalani hemodialisis hipertensi dan 25 persen mengalami diabetes melitus.
Menurut Tunggul, tekanan darah tidak pernah statis. Tekanan darah bukanlah angka melainkan gelombang atau kumpulan angka-angka. Itu menjelaskan mengapa antara satu pengukuran dengan yang lain pada orang yang sama bisa berbeda. Berdasarkan panduan dari organisasi profesi kedokteran di Amerika dan Eropa, pengukuran sendiri tekanan darah di rumah sebagai langkah penapisan penyakit lebih baik daripada pengukuran di tempat lain.
Untuk itu, warga dianjurkan untuk bisa mengukur sendiri tekanan darahnya di rumah. Ia menganjurkan pengukuran dilakukan pagi hari saat bangun tidur dan malam hari sebelum tidur dengan 2-3 kali pengukuran dengan jeda waktu antar pengukuran 1 menit. Pengukuran sebaiknya dilakukan dalam posisi duduk bersandar, posisi lengan atas sejajar dada, pemasangan kain lengan (cuff) tepat di lengan atas.
Pengukuran tekanan darah sendiri mendesak dilakukan. Oleh karena, berdasarkan data May Measurement Month 2017, sebanyak 1 dari 3 orang dewasa dengan usia rata-rata 41 tahun sudah mengalami tekanan darah tinggi atau di atas normal, 1 dari 6 orang sudah mengonsumsi obat antihipertensi, dan ada 1 dari 10 orang yang baru mengetahui tekanan darahnya di atas normal.