Praktik Demokrasi Elitis Terjadi
Proses penentuan pasangan capres-cawapres yang akan berkontestasi di Pemilu 2019, cenderung tidak transparan dan elitis. Ini jadi tantangan dalam demokrasi Indonesia,
JAKARTA, KOMPAS - Hingga satu hari menjelang penutupan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2024, komunikasi makin intensif dilakukan di antara elite politik. Namun, belum ada kejelasan tentang pasangan calon yang akan diajukan sebagai pemimpin republik ini.
Sejumlah nama telah disebut sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Namun, pada saat yang sama, muncul pernyataan atau gerakan dari sejumlah elite politik maupun tokoh masyarakat untuk menolak nama itu.
Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryatmo, Rabu (8/8/2018) saat dihubungi dari Jakarta, menuturkan, kondisi ini merupakan konsekuensi dari sistem multi partai ekstrim yang kini terjadi di tanah air. Sistem itu membuat antar partai atau kekuatan politik, saling mengunci hingga penentuan pasangan harus dilakukan di saat-saat akhir.
"Kondisi ini akhirnya membuat kandidat bisa muncul dari mana saja dan tanpa proses yang jelas. Tiba-tiba saja, parpol dapat mengusung seorang calon dan publik akhirnya hanya dapat menilai calon itu setelah dia diumumkan sebagai calon," kata Gun-gun.
Padahal, lanjut Gun-Gun, dalam demokrasi yang sehat, publik seharusnya dapat menilai seorang kandidat sejak jauh hari sebelum ia dicalonkan. "Ini menjadi tantangan dalam demokrasi kita," katanya.
Hal senada disampaikan peneliti politik Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Panji Anugrah. Menurutnya, saat ini model pencalonan presiden dan wakil presiden yang elitis. Pertimbangan penentuan figur capres dan cawapres seolah terbatas pada elite yang memperhitungkan kepentingan partainya tapi mengabaikan faktor-faktor penting untuk publik, seperti rekam jejak calon, integritas dia, serta komitmen kebangsaannya.
Alot
Hingga semalam, perbedaan pendapat masih terlihat disejumlah partai dan elite masyarakat, terutama terkait sosok cawapres.
Presiden Joko Widodo yang sudah diusung oleh sembilan parpol sebagai capres di Pemilu 2019, kemarin mengatakan belum ada rencana untuk kembali menggelar pertemuan dengan ketua-ketua umum dan sekretaris jenderal parpol pengusungnya guna membahas cawapres. Namun, pertemuan itu bisa saja diadakan mendadak,
Saat ditanya cawapres pendampingnya, Jokowi menjawab inisialnya M. Sambil berseloroh dia membenarkan ketika wartawan menyebutkan nama-nama seperti ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, hingga Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Bahkan, Presiden tertawa dan mengiyakan ketika disebutkan nama “Mas Airlangga (ketum Golkar Airlangga Hartarto)”.
Ketua DPP PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, nama cawapres Jokowi sudah mengerucut ke nama Mahfud MD dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Pengurucutan dua nama itu, sesuai dengan skenario prediksi sosok cawapres pendamping Prabowo sebagai lawan Jokowi di Pilpres 2019 nanti.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, Mahfud MD berpeluang besar mendampingi Jokowi di 2019. Namun, , nama cawapres itu masih bisa berubah di detik-detik terakhir, jika ada resistensi dan dinamika terbaru di internal koalisi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menuturkan, kalau cawapres Jokowi nanti bukan dari kader NU, dikhawatirkan warga nahdliyin merasa tidak memiliki tanggung jawab moral untuk ikut menyukseskannya.
Terkait hal itu, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya mendengarkan dan memperhatikan aspirasi dari NU.
Sementara itu, hingga semalam, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, berkali, kali mendatangi kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta. Selain itu, Prabowo juga sempat mendatangi Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Al-Jufri di kediamannya.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, Gerindra akan tetap bersama dengan PKS di Pemilu 2019. Menurutnya, dari hasil pertemuan empat mata Prabowo dengan Salim, PKS sudah legowo jika tidak mendapat kursi cawapres.
Gerindra, ujarnya, bahkan sudah menyiapkan kompensasi untuk PKS, yaitu berupa pembagian kursi di kabinet, jika cawapres usulan partai itu tidak dipilih Prabowo.
Namun, secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Abdul Hakim, menegaskan, partainya tetap memperjuangkan hasil musyawarah majelis syuro PKS, yang antara lain S Salim Segaf Al-Jufri diharapokan jadi cawapres pendamping Prabowo.
(INA/SAN/GAL/REK/AGE/APA/NWO)