Mengabadikan Memori-memori Terakhir Ibu
“Ibu tercinta kini pergi meninggalkan cerita, pergi menyisakan arti apa itu lupa. Dalam lupa, ia meninggalkan cinta tanpa perlu mengingat siapa yang dicinta (Jakarta, 31 Juli 2018, Mira Balya A).
Penggalan syair perupa ini “melelehkan” hati siapa pun yang membacanya. Selama dua tahun sejak 2015 hingga 2017, Mira memperhatikan betul masa-masa di mana Sri Darmi, ibunya perlahan-lahan kehilangan ingatan sampai dengan akhir hayatnya.
Tiga tahun lalu, almarhum ibunya mulai mengalami demensia, yaitu sebuah gejala dari penyakit yang menyerang otak, salah satunya Alzheimer. Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan Mira hanyalah memperlambat prosesnya dengan memberikan kegiatan-kegiatan sederhana bagi ibunya.
Ia akhirnya mengajak ibunya melakukan sebuah terapi seni visual dengan cara menggambar dan mewarnai lukisan. “Pada awalnya, ibu masih bisa menggambar dan mewarnai sesuai pola yang ada. Tapi, lama kelamaan, ia mulai tidak konsisten dalam mewarnai obyek-obyek tertentu kemudian memilih menggambar di luar pola yang ada, sampai membuat pola-pola yang tidak teratur,” ungkapnya.
Aktivitas menggambar almarhum selama dua tahun dikumpulkan dengan setia oleh Mira. Dari arsip-arsip itulah tampak bagaimana karya-karya yang dibuat ibunya menunjukkan proses penurunan ingatan secara perlahan-lahan. Mira memang tak bisa menghentikan proses penurunan ingatan ibunya, tetap paling tidak ia bisa menahan Alzheimer agar tak cepat menggerogoti tubuh ibunya.
Karya-karya yang dibuat ibunya menunjukkan proses penurunan ingatan secara perlahan-lahan.
Tahun 2017, ibu Mira akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah berjuang selama dua tahun melawan Alzheimer. Karya-karya almarhumah selama dua tahun itu kemudian disusun Mira dalam sebuah kumpulan modul yang digunakan sebagai petunjuk kegiatan terapi seni visual bagi penderita demensia maupun pendamping.
Selain arsip gambar-gambar karya ibunya, Mira juga mengumpulkan beberapa karya dari empat orang dengan demensia (ODD) dari sebuah panti jompo. Ia berharap, dengan upayanya mengabadikan memori-memori terakhir tentang ibunya, maka banyak orang bisa saling membantu orang tua, keluarga, maupun orang-orang dekat mereka yang mengalami demensia.
“Kedekatan personal memberikan stimulus bagi ODD untuk bisa beraktivitas dengan lebih baik serta memperlambat proses hilangnya ingatan mereka,”tambah Leonhard Bartolomeus, sang kurator.
Pengalaman tak terlupakan inilah yang diangkat Mira dalam instalasinya berjudul “Rekam Jejak Seorang Demensia” pada Pameran Kolektif Proyek SKS, sebuah program belajar seni kontemporer yang dikepalai oleh FX Harsono bersama enam seniman lintas disiplin ilmu, yaitu Mira Balya (Fasilitator dan Guru Seni Rupa), Andriani Soemantri (Antropolog), Gloria Pearl (Karyawan Swasta), Ika Vantiani (Praktisi Seni Mandiri), MS Alwi (Perancang Bunyi dan Pekerja Kreatif), dan Saniyyah Blesshanti (Mahasiswa). Pameran mereka dibuka, Selasa (7/8/2018) dan digelar pada 8-19 Agustus 2018 di Galeri Nasional Indonesia.
Bertahan di laut
Perupa lainnya, MS Alwi menyuguhkan instalasi berjudul “Pertemuan Nyong Tataruga dengan Penguasa Laut”. Lewat karyanya, pemuda asal Banda ini mencoba menggugah ingatan publik untuk selalu menyiapkan diri ketika berada di lautan. Berdasarkan pengalaman di Banda, banyak nelayan hilang di laut karena minimnya kesadaran dan persiapan peralatan keselamatan.
Ajakan Alwi melalui instalasinya unik. Ia membuat semacam baju pelampung yang trendi dan aman di lautan, ia juga menampilkan beberapa benda yang bisa dipakai orang untuk bertahan hidup di tengah lautan, mulai dari kail, benang pancing, peluit, hingga sabuk kulit yang dalam kondisi sangat genting bisa dimakan! Untuk melengkapi refleksinya, ia juga menampilkan sebuah video hasil rekaman wawancara dengan orang-orang yang sempat hilang di lautan.
Satu lagi karya brilian yang tak biasa muncul dalam instalasi karya Ika Vantiani dengan judul “Perempuan dalam kamus Bahasa Indonesia”. Barangkali tak banyak yang menyadari bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menjadi acuan utama berbahasa secara nasional selalu mendiskripsikan kata perempuan dalam berbagai pemaknaan yang hanya berkisar tentang seks semata.
“Dari tahun ke tahun, perempuan selalu dikonotasikan sebagai warga kelas dua, bahkan rujukan sekelas kamus memberikan contoh-contoh makna yang buruk pada kaum perempuan,” papar Leonhard.
Dari tahun ke tahun, perempuan selalu dikonotasikan sebagai warga kelas dua, bahkan rujukan sekelas kamus memberikan contoh-contoh makna yang buruk pada kaum perempuan
Pada KBBI terbitan 1988 misalnya menerangkan makna kata perempuan dalam berbagai arti berkonotasi negatif, seperti wanita geladak, jalang, jangak, lecah, dan nakal. Sementara itu, KBBI terbitan 1991 memaknai perempuan sebagai orang yang antara lain dapat menstruasi, melahirkan anak, dan menyusui.
Lebih buruk lagi, KBBI terbitan 2001 memberikan contoh pemaknaan perempuan simpanan atau istri gelap, juga KBBI 2008 dengan kata-kata perempuan jalanan dan pelacur. Tak beranjak dari pemaknaan tahun-tahun sebelumnya, KBBI 2016 masih tetap menstigma perempuan dalam konotasi-konotasi negatif seperti betina dan pelacur.
“Walaupun ada perubahan di setiap edisinya, secara garis besar penjelasan kata \'perempuan\' di dalam KBBI dengan gigihnya mendeskripsikan betapa perempuan adalah sosok orang yang hidupnya hanya berkisar tentang seks semata,” kata Ika.
Karya-karya instalasi yang diangkat beberapa perupa muda ini memang tidak semata-mata menunjukkan sebuah pertarungan eksposisi estetika seni rupa. Namun demikian, masing-masing karya memiliki kekuatan pemaknaan yang menohok. Latar belakang pengetahuan, sosial, serta personalitas yang berbeda-beda akhirnya bertemu dalam suatu titik temu dan dialog yang saling memperkaya bagi enam perupa yang dibimbing langsung oleh perupa FX Harsono selama enam bulan ini.