BANDUNG, KOMPAS--Produktivitas pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM mesti dipacu secara konsisten untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dalam sejarah perekonomian Indonesia, UMKM terbukti tahan terhadap perubahan ekonomi global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pelaku UMKM di Indonesia pada 2013 sebanyak 62,93 juta dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 60,34 persen. Adapun tenaga kerja UMKM mencapai 114 juta orang atau 96,99 persen dari total tenaga kerja. Namun, kontribusi ekspor UMKM terhadap total ekspor non migas hanya 15,68 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, UMKM terkait dengan kebutuhan permintaan dalam negeri sehingga lebih tahan terhadap perubahan siklus ekonomi global. Daya tahan UMKM ini akan menopang pertumbuhan ekonomi nasional di tengah kondisi ketidakpastian global. Kendati demikian, produktivitas UMKM masih belum optimal.
“Akses pasar untuk ekspor masih perlu dorongan pemerintah. Ekspor bisa melalui e-dagang atau perdagangan konvensional,” kata Perry yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) periode 2018-2021 dalam Seminar Nasional dan Kongres ISEI XX di Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/8/2018).
Produktivitas sektor informal yang didominasi pelaku UMKM bisa ditingkatkan melalui pelatihan wirausaha. Tujuannya, agar UMKM mengenal akses keuangan, baik melalui perbankan maupun teknologi finansial.
Perluasan akses keuangan diyakini bisa mendorong peningkatan ekspor produk UMKM secara dalam jaringan atau luar jaringan.
Ekspor penting ditingkatkan agar defisit neraca perdagangan segera teratasi. Pada Januari-Juni 2018, neraca perdagangan defisit 1,02 miliar dollar AS.
Menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, produktivitas UMKM masih rendah, kendati kontribusinya terhadap perekonomian cukup tinggi. Mayoritas UMKM hanya sebagai pedagang dan penyalur barang. Bahkan, sekitar 70 persen produk yang dijual dalam laman perdagangan berupa barang impor.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, masalah utama usaha mikro dan informal antara lain kesulitan akses pembiayaan, pasar dan peluang usaha. (KRN)