JAKARTA, KOMPAS--Penerimaan pajak sampai dengan akhir Juli 2018 sebesar Rp 687,17 triliun. Jumlah itu sekitar 48,26 persen dari target penerimaan pajak tahun ini.
Penerimaan pajak sebesar itu mengindikasikan sentimen positif perekonomian domestik di tengah eskalasi ketidakpastian perekonomian global.
“Pertumbuhan penerimaan pajak menggambarkan kondisi fiskal dalam negeri tetap bisa dijaga meskipun kondisi global tengah bergejolak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers kinerja APBN 2018 bulan Agustus di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Indikator lain yang dipaparkan adalah realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 92,88 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp 211,04 triliun, dan penerimaan hibah Rp 3,27 triliun. Dari sisi fiskal, indikatornya adalah defisit APBN 2018 yang sebesar 1,02 persen atau Rp 151 triliun.
Sri Mulyani menambahkan, kinerja APBN 2018 yang masih sesuai rencana diharapkan bisa memulihkan kepercayaan pelaku pasar dan investor. Selain itu, pemerintah mengandalkan instrumen fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik dari tekanan eksternal.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan memaparkan, penerimaan pajak pada Januari-Juli 2018 tumbuh 14,36 persen dibandingkan dengan Januari-Juli 2017. Penerimaan pajak paling besar dari sektor industri pengolahan yang sekitar Rp 194,36 triliun. “Pencapaian yang positif diharapkan berlanjut pada bulan depan sehingga target APBN 2018 bisa tercapai,” kata Robert.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pengendalian impor akan dilakukan lebih komprehensif dengan menyisir proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Proyek akan ditunda beberapa tahun jika komponen impor lebih besar dari dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Contoh impor yang akan dikendalikan dalam program pembangkit listrik atau turbin. Kalau tenyata proyek ada di Jawa yang sudah tercukupi listriknya, maka akan ditunda,” katanya. (KRN)