Lukisan pemandangan gunung dengan hamparan danau kebiruan serta deretan pohon berdaun merah kekuning-kuningan terpajang di salah satu dinding Halte Bus Transjakarta Harmoni, Minggu (2/09/2018). Sebuah gubuk kecil berdiri di pinggir danau yang teduh. Jika hanya sekilas melihat, mungkin orang tak akan mengira bahwa lukisan itu adalah karya salah satu pasien Rumah Sakit Jiwa Dr Arif Zainudin Solo.
Sang pelukis yang berinisial S mampu membuat gradasi untuk menciptakan visual awan, gunung, dan danau. Melihat hasil goresannya, S tampak menguasai komposisi warna. Lukisannya tampak hidup sekaligus artistik.
Di dinding sebelahnya tertempel pula sebuah lukisan wajah perempuan berambut hitam, berkalung manik-manik hijau dengan lipstik pink di bibirnya. Ini adalah lukisan karya E, salah seorang pasien RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang.
E adalah Orang Dengan Ganugguan Jiwa (ODGJ) yang bertahun-tahun tinggal berpindah-pindah di RSJ Lawang, Dinas Sosial Pasuruan, serta Lingkungan Pondok Sosial Surabaya. Lukisan itu dibuatnya akhir Mei lalu dengan penuh ketekunan. Ia sangat menikmati lokakarya menggambar melukis yang digelar Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional Indonesia dan Art Brut Indonesia. Pada hari kedua lokakarya, E sampai memperpanjang waktu menggambar satu setengah jam lebih lama daripada teman-temannya.
Di bagian dinding lainnya, dua pasien RSJ Bangli Bali membuat dua lukisan simbolik. Lukisan pertama menggambarkan dua orang berhadap-hadapan dengan mahkota laksana topi Suku Indian. Sementara itu, di bagian bawahnya terpajang lukisan bergambar tiga bilah keris tertuju pada satu obyek putih di bagian tengah.
Festival Bebas Batas
Lukisan-lukisan di atas hanyalah sebagian kecil dari 146 karya ODGJ yang terkumpul dari lima RSJ, yaitu RSJ Dr Arif Zainudin Solo, RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, RSJ Bali, RSJ Lampung dan RSJ Dr Soeharto Heerdjan Jakarta. Ratusan lukisan itu dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta dan Harmoni Central Busway pada 30 Agustus – 4 Oktober 2018 dalam pameran Aneka Rupa Lima RSJ yang merupakan pendamping Festival Bebas Batas 2018.
"Aneka Rupa Lima RSJ bermula dari kegiatan melukis bersama yang dilaksanakan di lima rumah sakit jiwa sepanjang Mei-Juni 2018. Pameran ini menjadi arena ekspresi ODGJ yang selama ini terselubung oleh stigma dan prasangka,"kata Sudjud Dartanto, kurator Festival Bebas Batas 2018.
Menurut Sudjud, kadang kita sering tak menganggap penting ekspresi ODGJ. Bahkan, kebanyakan orang lupa bahwa mereka adalah manusia Indonesia yang juga dijamin negara untuk bebas mengungkapkan ekspresinya.
Karena itulah, pameran Aneka Rupa Lima RSJ dapat dibaca sebagai ruang yang merekam bentuk ekspresi lugas, polos, dan spontan para ODGJ melalui goresan cat diatas kertas maupun kanvas. Selain sebagai arena ekspresi, pameran ini dapat pula dibaca sebagai medan semiotika yang menggoda.
Melihat dari sejumlah karya ODGJ di lima RSJ tersebut, kurator melihat bahwa stigma dan prasangka terhadap ODGJ menjadi faktor yang ikut mempengaruhi dalam penandaan dan pemaknaan karya-karya mereka. Saat melukis, ekspresi-ekspresi yang muncul dari para ODGJ sangat luar biasa. Mereka bahkan bisa menghasilkan kode-kode yang bersifat tidak umum.
Hendromasto Prasetyo, Ko- Kurator Festival Bebas Batas 2018, mengatakan, dalam fase tertentu, penikmat seni rupa tidak akan peduli apakah sebuah karya seni dihasilkan perupa profesional atau ODGJ. ”Batasan-batasan itu runtuh dalam kacamata seni rupa karena yang dilihat pada akhirnya adalah karya,” kata dia.
Dengan berlatih menggambar, ODGJ mendapatkan medium untuk bebas berekspresi sepuasnya. ”Seni sangat penting untuk mengolah pikiran, mengolah hati dan rasa. Ini adalah salah satu bentuk terapi yang baik bagi ODGJ,” ucap Direktur Kesenian Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Restu Gunawan.
Sejak puluhan tahun lalu, melukis telah menjadi salah satu bagian dalam proses rehabilitasi ODGJ di RSJ. Kendala yang dihadapi sekarang adalah, sebagian besar RSJ di Indonesia tidak memiliki ahli terapi seni.