Pengembangan TOD dan Kendalanya
Pengembangan kawasan berorientasi transit tengah digadang-gadang untuk segera direalisasikan. Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi penataan kota yang baik. Butuh pemikiran bersama untuk dapat merealisasikannya secara tepat.
Sejumlah tantangan masih menanti pengembangan kawasan berorientasi transit atau transit oriented development (TOD). Konsolidasi lahan, koordinasi kewenangan antara sejumlah lembaga pemerintah, integrasi moda transportasi, serta perubahan paradigma dan gaya hidup masyarakat adalah beberapa di antaranya.
Hal-hal tersebut menjadi sebagian di antara yang mengemuka dalam diskusi panel di Tarumanegara Knowledge Center, Universitas Tarumanegara, Jakarta, Sabtu (1/9/2018). Diskusi ini mengambil tema ”Tantangan Implementasi Kebijakan dan Pengembangan Kawasan TOD”.
Sejumlah panelis yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Pedoman Pemanfaatan Ruang Direktorat Pemanfaatan Ruang Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Amelia Novianti, Direktur Utama Pusat Studi Urban Desain Adrianto Santoso, dan Direktur Utama Adhi Commuter Properti Amrozi Hamidi. Selain itu, hadir pula Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie dan pengajar Universitas Tarumanegara Handi Chandra Putra dengan moderator Meyriana Kesuma.
Tantangan terkait konsolidasi lahan, kata Adrianto, hal ini dapat terjadi tatkala mesti memahamkan masyarakat tentang adanya pengalihan nilai lokasi dan aktivitas tertentu dari yang sebelumnya berbasis horizontal ke vertikal. Contohnya ketika mesti terjadi penggantian nilai bisnis yang sesuai terkait tempat usaha kos berbasis horizontal menjadi bentuk vertikal.
Adrianto menyampaikan bahwa prinsip TOD adalah pemadatan sebuah kawasan. Ini terkait dengan penggunaannya untuk permukiman, aktivitas komersial, dan sebagainya.
Pemadatan aktivitas dan fungsi kawasan pada gilirannya diharapkan bakal meningkatkan fungsi nilai kawasan hingga titik optimum dan mengurangi fenomena urban sprawl. Urban sprawl merupakan kecenderungan persebaran pembangunan kota ke kawasan pinggiran. Sebagian definisinya menyangkut pula pengembangan perkotaan dengan kawasan yang dibangun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk.
Kecenderungan urban sprawl di kawasan Jabodetabek hanya terjadi untuk pembangunan kawasan perumahan dan sebagian pusat belanja. Sementara lokasi kerja relatif masih terkonsentrasi di pusat kota Jakarta dan membuat sejumlah persoalan laten, seperti kemacetan, cenderung semakin parah.
Oleh karena itu, pengembangan TOD mesti dilakukan dengan melakukan perbaikan struktur kawasan.
”Keberhasilan TOD (terkait dengan adanya) mixed-use dan mixed communities,” ujar Adrianto.
Ia menambahkan, terkait hal itu, tantangan cukup berat yang mesti dihadapi adalah mengubah paradigma masyarakat untuk mau menghuni kawasan TOD. Hal ini terkait dengan perubahan gaya hidup, yang sebelumnya relatif lebih terbiasa dengan aktivitas di rumah-rumah tapak.
Lembaga khusus
Hari Ganie menambahkan, konsolidasi lahan merupakan tantangan berat dalam pengembangan TOD. Menurut dia, konsep konsolidasi lahan di Indonesia belum pernah bisa dilaksanakan sejak istilah itu mulai dikenalnya pada saat mengikuti perkuliahan pada 1980-an.
Pada bagian lain, terkait kewenangan sejumlah lembaga negara dalam kawasan TOD, Hari mengatakan diperlukan lembaga khusus untuk mengatasi masalah koordinasi. Ia menyebutkan, sejumlah lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam kawasan TOD itu, misalnya PT KAI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian ATR/BPN.
”Ini akan repot. Institusi apa yang mengatur TOD. Pemilik tanah beda-beda dan sebagainya,” ucap Hari.
Pada bagian lain, Hari juga mempertanyakan belum dilibatkannya pengembang swasta, yang sebagian besar tergabung dalam REI, dalam mengembangkan kawasan TOD. Ia menyebutkan, dari 40 TOD yang direncanakan dikembangkan, 11 di antaranya sudah dipastikan dikembangkan hanya oleh BUMN dan BUMD.
Amelia menegaskan, terkait tantangan integrasi antarmoda transportasi publik, pihaknya sudah menyerahkan hal tersebut kepada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Salah satu hal yang akan dilakukan ialah membuat kajian terkait TOD merupakan konsep penataan dengan pembangunan kembali kawasan, pembangunan ruang belum terbangun (infill development site), dan pembangunan baru di lahan kosong. Pengembangan lokasi TOD didasarkan pertimbangan sistem transportasi publik yang terkait titik-titik transit.
Berbasis angkutan publik
Berdasarkan catatan Kompas, syarat sebuah kawasan bisa dikembangkan sebagai TOD adalah jika terdapat sedikitnya dua moda transportasi umum, salah satu di antaranya berbasis rel. Di Jakarta, TOD dikembangkan di sekitar Stasiun Bundaran HI, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora Senayan, Blok M, Dukuh Atas, dan Lebak Bulus.
Sejumlah aturan terkait TOD masih relatif baru ditetapkan. Dua di antaranya adalah Pergub DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development dan Peraturan Menteri ATR/BPN No 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.
Dukuh Atas menjadi proyeksi TOD karena nantinya menjadi kawasan persimpangan dua
moda angkutan berbasis rel, yaitu angkutan massal cepat (MRT) dan KRL, juga berpotongan dengan jalur bus transjakarta.
Bagaimana pengembangan TOD di Dukuh Atas? Publik masih belum mendapat gambaran utuh. Hal serupa juga terjadi atas 11 rencana pengembangan TOD oleh BUMN dan BUMD, salah satunya di beberapa stasiun kereta api di Jakarta dan sekitarnya. Diharapkan TOD bukan sekadar istilah yang dicomot untuk pengembangan bisnis properti tanpa merealisasikan konsep pengembangan kawasan transit yang benar.