JAKARTA, KOMPAS – Gerakan Literasi Sekolah yang gencar dilakukan dalam tiga tahun terakhir dinilai mulai meningkatkan minat baca dan kemampuan siswa dalam menyerap dan mengolah informasi. Siswa mulai terbiasa mengisi waktu dengan membaca dan menyampaikannya dalam berbagai media. Namun, minimnya koleksi buku yang digemari siswa di perpustakaan sekolah membuat sumber bacaan siswa terbatas.
Berbagai upaya dilakukan sekolah menengah atas di Jakarta dalam meningkatkan literasi siswa. SMA 65 Kebon Jeruk dan SMA 78 Kemanggisan, Jakarta Barat, misalnya, mengadakan sejumlah program, mulai dari membaca sebelum jam pelajaran pertama, lomba dan seminar literasi saat Bulan Bahasa, hingga mengikuti kegiatan-kegiatan literasi di luar sekolah.
Koordinator Tim Literasi SMA 78 Jamaluddin mengatakan, berbagai program tersebut akan mendekatkan siswa dengan kegiatan literasi dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menyerap dan mengolah informasi. Salah satunya dapat dilihat dari kegiatan membaca buku sebelum belajar.
Setiap Senin-Rabu sebelum jam pelajaran pertama, siswa diwajibkan membaca buku (selain buku pelajaran) selama sepuluh menit. Hasil bacaan mereka kemudian dirangkum pada Kamis dan dipresentasikan pada Jumat.
Dari kegiatan ini, guru bisa memantau kemampuan siswa dalam membaca dan menyampaikan kembali apa yang dibacanya. Selain itu, siswa yang awalnya tidak terbiasa membaca, mau tidak mau akan terbiasa karena kegiatan ini juga menjadi salah satu aspek penilaian.
"Sejak tiga tahun terakhir, minat baca siswa meningkat. Rata-rata siswa bisa menyelesaikan empat judul buku per semester. Bahkan, bagi yang hobi membaca, bisa 12 buku per semester. Tapi tak dipungkiri ada juga beberapa siswa yang kemampuan membacanya masih lambat," ujar Jamal, Selasa (4/9/2018).
Jamal melanjutkan, dengan adanya kegiatan ini, sebagian siswa mulai terbiasa mengisi waktu kosong di sekolah dengan membaca. Adanya pojok literasi di tiap kelas, rak berisi buku yang dibawa siswa dari rumah, juga memudahkan siswa mengakses bahan bacaan. "Sesama siswa juga bisa saling meminjam buku yang mereka bawa," ujarnya.
Hal senada dikatakan guru bahasa Indonesia SMA 78 Fahruri. Kegiatan membaca sebelum jam pelajaran pertama melatih siswa untuk gemar membaca. Setiap siswa ditargetkan menyelesaikan minimal satu buku per bulan. Mereka diberi waktu 15 menit menjelang jam pelajaran pertama pada hari Senin-Rabu untuk membaca buku yang diminati.
Pada hari Kamis, selama satu jam pelajaran, siswa diberi kesempatan merangkum hasil bacaannya ke dalam jurnal kemudian mempresentasikannya. Siswa yang lain memberikan tanggapan terhadap siswa yang tampil. "Cara ini secara umum efektif dalam meningkatkan literasi siswa," ujarnya.
Selain membaca buku, siswa juga gemar membaca berita melalui media daring. Agar siswa bijak memilah informasi, guru selalu mengingatkan untuk kritis terhadap artikel yang mereka baca. Siswa juga diarahkan untuk membaca berita di portal-portal kredibel.
Membaiknya tingkat literasi siswa, kata Fahruri, juga bisa dilihat dari mulai banyaknya siswa yang bisa menulis dan berani menyampaikan gagasan di depan umum. "Ini membuktikan mereka bisa menyerap informasi kemudian menyampaikannya kembali, baik melalui lisan maupun tulisan," katanya.
Farah Marsyanda, siswa kelas XII Jurusan IPA SMA 65, mengatakan, dirinya semakin terbiasa membaca setelah adanya kebijakan sepuluh menit membaca sebelum jam pelajaran. Sekarang, rata-rata dia bisa membaca satu hingga dua buku per bulan.
"Saat di SMP, saya jarang membaca. Sekarang, ketika jam istirahat atau pergantian jam pelajaran, saya sering baca buku yang ada di kelas (pojok literasi)," ujarnya.
Terbatas
Meskipun secara umum minat baca siswa meningkat, bukan berarti kegiatan literasi di sekolah bebas dari kendala. Perpustakaan sekolah dinilai belum bisa menyediakan buku-buku yang sesuai dengan minat siswa.
Menurut Jamal, buku yang tersedia di perpustakaan sekolah umumnya buku teks pelajaran dan buku fiksi atau nonfiksi cetakan lama. Sementara itu, anggaran untuk pengadaan buku tidak ada. Akibatnya, sumber bahan bacaan terbaru yang diminati siswa, seperti fiksi remaja dan sastra terjemahan, terbatas.
"Bagi siswa yang tidak bisa membeli buku, mereka kesulitan mencari bahan bacaan," ujarnya.
Pantauan Kompas di perpustakaan sekolah itu, rak-rak buku didominasi oleh buku teks pelajaran. Di beberapa titik terdapat buku-buku sastra angkatan Balai Pustaka dan angkatan 66, seperti Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sutan Iskandar, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan Ziarah karya Iwan Simatupang. Di antara buku tersebut, sudah ada yang lusuh dan pirang.
Kesulitan yang sama juga dikeluhkan Fahruri. Ketiadaan anggaran untuk membeli buku baru menjadi kendala. "Sebelumnya di perpustakaan ada komputer yang berisi buku digital yang bisa diakses siswa, tetapi sekarang sudah banyak yang rusak," ujarnya. Dia pun berharap masalah ini segera teratasi.