Banalitas Politik Kewargaan
Manusia itu makhluk politik. Oleh karena itu, tidak mungkin dihentikan untuk berpolitik.
Politik itu seni mengelola kepentingan warga. Politik yang beradab merupakan bentuk paling luhur dari sebuah bangsa yang berperadaban luhur. Sementara banalitas politik merupakan kebalikan politik yang bertujuan mulia, menyejahterakan warga dan mengelola kepentingan bersama.
Saat ini kita diperlihatkan dengan model-model berpolitik yang agak jauh dari substansi politik warga negara yang ideal. Kita diperlihatkan dengan model-model berpolitik yang mengedepankan sentimen kelompok dengan menghujat, menghukum, serta mempersekusi kelompok politik yang berbeda dan berlawanan. Bahkan dengan cara membajak ayat-ayat agama.
Politik keagamaan
Agama itu sumber etik. Berpolitik mempergunakan referensi etika agama itu suatu yang dibenarkan, bahkan diwajibkan (Tibbi, 2015). Hal yang tak perlu dilakukan adalah ”memperkosa agama” untuk kepentingan politik. Inilah yang membuat umat beragama jadi saling tuding dan menghukum atas nama agama karena menjadikan agama sebagai ”permainan politik” alias mempergunakan agama sebagai kepentingan politik.
Aspirasi politik kewargaan adalah hak semua warga negara. Berbeda pilihan politik, termasuk berbeda pilihan partai politik, mendukung kandidat, adalah hak warga negara yang diatur dan dijamin UU. Namun, berpolitik dengan menghukum orang lain yang berbeda dengan pelbagai hujatan kebencian, bahkan mempersekusi pihak lain, adalah bentuk berpolitik warga negara yang tidak beradab.
Negara yang telah ditakdirkan Tuhan dengan pelbagai agama dan suku ini harus kita terima dengan gembira dan syukuri bersama. Dalam satu agama pun di negara ini terdiri banyak sekte (kelompok) sehingga banyak pandangan serta praktik keagamaan yang beragam. Semua merupakan kekayaan bangsa ini yang tidak dimiliki bangsa lain. Keragaman agama dan etnis adalah nyata sebagai kekuatan dan kekayaan Indonesia yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Bahkan mengingkari keragaman dapat dikatakan sebagai melawan takdir Tuhan untuk Indonesia.
Abdullah An-Naim (2015), asal Sudan, bahkan menyatakan dengan sangat jelas bahwa negara-negara Timur Tengah sudah seharusnya belajar kepada Indonesia, sebuah negara yang beragam, tetapi dapat hidup berdampingan dalam wujud negara kesatuan bukan berdasar negara agama. Hal yang sama juga dikemukakan Grand Syaikh Al Azhar Prof Ahmad Muhammad ath-Thayyib tatkala berkunjung ke Indonesia, baru-baru ini, bahwa anugerah terbesar dari Tuhan untuk Indonesia adalah keragaman agama dan suku yang ada. Indonesia inilah surga di dunia, bukan Timur Tengah.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kondisi keragaman agama dan suku di Tanah Air dikoyak-koyak oleh sekelompok orang yang berbeda pilihan politik antara satu dan lainnya. Satu kelompok pendukung pilihan tertentu dengan keras mengecam yang berbeda pilihan politiknya. Sementara yang dikecam pun
tidak kalah sengitnya melawan kecaman dan tuduhan tersebut dengan pelbagai tindakan yang juga membahayakan hubungan antaragama dan etnis di Indonesia.
Hal yang paling celaka saat ini adalah kebencian, hasutan, provokasi serta persekusi dicarikan legitimasinya dari teks-teks dogma keagamaan. Teks-teks keagamaan diperkosa untuk kepentingan kelompok demi kerakusan kekuasaan politik sementara, tetapi merasa paling benar dalam bertindak. Pilihan kata dan kalimat atas kelompok lainnya dengan berbagai macam sebutan yang tak pantas dilontarkan, seperti kampret, cebong, setan serta dajal, merupakan bentuk-bentuk politik kewargaan yang dengan sengaja dibalut teks keagamaan sebagai pembenar.
Persoalannya yang sangat memprihatinkan kita semua adalah sebagian warga negara bersedia mengikuti dan memercayai bahwa yang didapatkan melalui tagar, media sosial, spanduk, ceramah-ceramah di tempat keagamaan adalah sesuatu yang memang harus diikuti dan disebarkan, sekalipun itu bertentangan dengan semangat keagamaan yang profetik.
Oleh sebab itu, sesungguhnya hal yang sangat mendesak saat ini harus dilakukan oleh para elite-tokoh agama adalah segera menghentikan berbagai bentuk hasutan, kebencian, dan persekusi atas nama Tuhan. Warga masyarakat harus disadarkan bahwa urusan politik pilihan presiden dan memilih anggota legislatif merupakan ritual duniawi yang bertujuan untuk kemajuan berbangsa dan bernegara apa pun agamanya. Memilih presiden itu ritual lima tahunan, tidak berhubungan dengan peperangan, apalagi perang agama.
Populisme kewargaan
Beredarnya tagar #2019Ganti Presiden yang terus bergulir dan jadi kontroversial merupakan salah satu bentuk populisme politik kewargaan mutakhir. Ekspresi politik warga negara ini berjalan tanpa dapat dikendalikan.
Hal yang harus dilakukan oleh pihak aparat keamanan adalah mencegah siapa pun yang berbuat keonaran, mengganggu ketertiban umum, apalagi merusak fasilitas publik. Aparat keamanan harus bertindak tegas pada siapa pun. Aparat keamanan tidak bisa berlindung di balik pelanggaran HAM karena berpolitik adalah hak semua warga negara.
Jika aparat tak bertindak tegas, maka bangsa ini sebenarnya tengah dipertaruhkan penegakan hukumnya. Hukum sedang diinjak-injak oleh mereka yang melanggar hukum, tetapi berlindung di balik jargon kebebasan HAM dan demokrasi. Inilah yang harus jadi perhatian kita semua. Kita tidak berdalih demi demokrasi dan kebebasan HAM dengan membuat ujaran-ujaran kebencian, provokatif, serta ketakpantasan etika berbangsa bernegara.
Hal yang juga sangat penting diperhatikan oleh semua warga negara adalah tradisi penyebaran informasi melalui media sosial yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Tokoh agama dan lembaga sudah semestinya tidak melakukan reproduksi kebencian, penghasutan, penghujatan, atau apa pun namanya, yang hanya akan berakibat pada terjadinya perpecahan antarsesama umat beragama karena kepentingan politik kekuasaan sesaat. Perbedaan pilihan politik dan dukungan pada calon presiden-wakil presiden tidak perlu didorong jadi kebencian dan penghujatan serta penghasutan atas umat beragama, yang dampaknya bukan memperkuat kebangsaan, melainkan merusak sendi-sendi kebangsaan.
Hajatan akbar Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 hendaklah menjadi hajatan yang membahagiakan-menyenangkan dan dapat dinikmati oleh semua warga negara dengan sukacita, bukan penuh dendam kesumat. Karena itu, pilpres dan pileg itu harus kita selamatkan dari berbagai bentuk sabotase politik yang berkehendak menggagalkan dengan pelbagai agenda atas nama demokrasi. Kita harus menjaga kondisi politik di tahun politik tidak menjadi banalitas politik kewargaan.
Zuly Qodir Sosiolog UMY; Peneliti Senior Maarif Institute