Langkah Belum Cukup Hadapi Gejolak Global
JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah sudah menyusun langkah untuk mengantisipasi pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Namun, langkah-langkah itu sulit mengimbangi dinamika pergerakan ekonomi global.
Rupiah masih terperosok, bahkan semakin dalam.
Pada Rabu (5/9/2018), berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar Rp 14.927 per dollar AS. Setidaknya, dalam empat hari terakhir, nilai tukar rupiah setiap harinya merupakan posisi terlemah tahun ini.
Di pasar tunai, mengacu laman Bloomberg, rupiah diperdagangkan pada Rp 14.925-Rp 14.940 per dollar AS.
Defisit neraca perdagangan dinilai sebagai sentimen negatif yang melemahkan rupiah. Pemerintah menerbitkan lima strategi untuk memperbaiki neraca perdagangan, yakni penggunaan biodiesel 20 persen sebagai subtitusi impor, kenaikan PPh 22 impor barang konsumsi, peningkatan penggunaan komponen lokal (TKDN), kepastian dan kemudahan layanan e-dagang, serta asesmen impor barang konsumsi melalui Dirjen Bea Cukai.
“Keseluruhan langkah itu dilihat secara holistik dampaknya terhadap perbaikan neraca perdagangan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS.
Rabu sore, pemerintah mengumumkan kebijakan pengendalian impor. Pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor Pasal 22 untuk 1.147 barang.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai kenaikan PPh impor merupakan langkah tepat. Selain memperbaiki defisit transaksi berjalan, PPh impor bisa mendorong momentum kebangkitan industri dalam negeri. Namun, pantauan dan evaluasi mesti dilakukan berkala agar kebijakan itu tepat sasaran.
Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyeret indeks harga saham gabungan (IHSG), yang anjlok 3,756 persen ke posisi 5.683,501 pada Rabu. Penurunan ini merupakan yang terdalam sejak November 2016, yang saat itu anjlok 4,01 persen.
Secara umum, pasar saham dunia merah. Di ASEAN, indeks merosot di semua pasar. Namun, penurunan terbesar terjadi pada IHSG.
Analis Phintraco Sekuritas Rendy Wijaya menyebutkan, perang dagang AS-China memicu penguatan dollar AS menguat terhadap seluruh mata uang negara berkembang. Hal ini meningkatkan kekhawatiran pasar terhadap fundamen perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam kesempatan terpisah, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, depresiasi rupiah terhadap dollar AS sejak awal tahun ini sekitar 7 persen. Pada 2015, rupiah terdepresiasi 20 persen dan 2013 pernah mencapai 25 persen.
Sejauh ini, BI menilai dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi masih terbatas.
“Pengusaha memilih menurunkan margin keuntungan sehingga dampak pelemahan nilai tukar belum terlihat,” kata Perry dalam paparan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu.
Secara terpisah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengingatkan pelaku usaha, BI memiliki instrumen tukar-menukar lindung nilai (swap hedging) dengan transaksi minimal 2 juta dollar AS. Pelaku usaha dapat memanfaatkan fasilitas itu jika memerlukan rupiah, kemudian mendapatkan kembali dollar AS dalam jangka waktu tertentu.
- Konversi devisa ekspor
https://kompas.id/baca/utama/2018/09/05/upayakan-konversi-devisa-ekspor/
Saat ini, baru sekitar 260 juta dollar AS yang diikutkan dalam tukar-menukar lindung nilai. "Kami berharap pelaku usaha memanfaatkan ini," katanya.
Waspada
Presiden Joko Widodo mengatakan, bukan hanya rupiah yang melemah akibat faktor eksternal. Faktor eksternal itu, antara lain, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, perang dagang AS-China, serta krisis keuangan di Turki dan Argentina.
"Saya kira yang paling penting kita harus waspada. Kita harus hati-hati," kata Presiden di Tanjung Priok, Jakarta.
Menurut Presiden, koordinasi selalu melibatkan sektor fiskal, sektor moneter, dan sektor industri atau pelaku usaha. "Koordinasi yang kuat menjadi kunci sehingga jalannya segaris semua," katanya.
Menghadapi kondisi saat ini, menurut Presiden investasi dan ekspor harus terus ditingkatkan agar Indonesia bisa menyelesaikan persoalan defisit transaksi berjalan.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia, defisit transaksi berjalan terjadi sejak triwulan IV-2011. Secara tahunan, transaksi berjalan defisit sejak 2012. Pada triwulan II-2018, transaksi berjalan defisit 8,028 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB).
Menghadapi pelemahan rupiah terhadap dollar AS, ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyarankan agar pelaku usaha tidak panik. Sebab, kondisi fundamen ekonomi dan pengelolaan utang luar negeri saat ini jauh lebih baik ketimbang pada saat krisis keuangan 1998.
“Pada 1998, krisis yang berawal dari krisis baht Thailand diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati. Sebagian besar utang luar negeri swasta tidak memiliki lindung nilai. Selain itu, utang jangka pendek digunakan untuk membiayai usaha jangka panjang dan berorientasi domestik,” kata Josua.
Menurut Josua, krisis utang swasta pada 1998 menekan rupiah ke tingkat depresiasi terdalam, yaitu 600 persen dalam waktu kurang dari setahun. Rupiah melemah dari Rp 2.350 per dollar AS menjadi Rp 16.000 per dollar AS.
Jika melihat kondisi fundamen Indonesia tahun ini, tambah Josua, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih hati-hati. BI sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.
(KRN/HEN/DIM/CAS/LAS/IDR)