Mengarungi Lautan Kebenaran
”Saya tidak tahu bagaimana saya dipandang di dunia ini. Tapi, bagi saya sendiri, saya selama ini hanyalah seperti anak-anak yang bermain di tepi pantai, dan asyik mencari batu yang lebih rata atau cangkang yang lebih indah daripada yang biasa-biasa saja, sementara lautan kebenaran yang luas membentang dan belum terungkap ada di hadapan saya.”
— Isaac Newton (1643-1727)
Kata-kata ilmuwan Isaac Newton ini dikutip Carl Sagan dalam bukunya, Cosmos (2016). Kata-kata tersebut konon diucapkan tidak lama sebelum dia meninggal.
Sebuah ungkapan yang sangat dalam maknanya. Ia ingin menegaskan bagaimana pengetahuan manusia masih sangat minim, sementara obyek-obyek yang belum diketahui masih sangat banyak. Kita bagaikan anak-anak yang bermain di tepi pantai yang sibuk mencari batu dan kerang atau bermain- main dengannya. Sementara sesuatu yang lebih besar dan bermakna, pengetahuan yang lebih luas dan besar lagi, ada di hadapan kita.
Ungkapan Newton menyentak kesadaran dan pikiran kita, betapa sesungguhnya tak ada yang perlu disombongkan dari pengetahuan minim yang dimiliki, apalagi sampai mengklaim pengetahuan itu sebagai sesuatu yang final tanpa ada pengetahuan lain di luarnya. Atau, mengklaim pengetahuannya semata yang paling benar, sementara pengetahuan lain salah.
Lebih celaka lagi, pintu untuk menguak pengetahuan baru ditutup rapat-rapat—atau dibatasi—seakan-akan pengetahuan telah selesai, tak ada lagi pengetahuan baru. Pengetahuan baru yang muncul malah kemudian dianggap menyimpang dan harus ”diluruskan”.
Hal semacam itu selalu ada dalam sejarah pemikiran manusia, tak terkecuali pemikiran Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat dan Islam menyebar ke berbagai penjuru di luar Jazirah Arab, berbagai persoalan baru muncul.
Sebagian ulama ada yang menyelesaikan persoalan yang ada dengan merujuk Al Quran, ujaran Nabi, atau perkataan sahabat. Sebagian lagi ada yang membuat metode-metode baru berdasarkan pertimbangan logika Aristotelian (deduktif). Pengetahuan-pengetahuan baru pun muncul. Dalam khazanah pemikiran Islam, ini dikenal dengan ijtihad. Nabi pernah mengatakan, orang yang berijtihad menemukan kebenaran dan ternyata keliru, dia tetap mendapatkan pahala karena usaha ijtihadnya. Artinya, Nabi sendiri secara tegas memberi peluang untuk berijtihad guna menyelesaikan problem-problem sosial baru yang muncul.
Menyikapi perbedaan
Namun, rupanya ada sebagian ulama yang seakan-akan menutup pintu ijtihad yang sejatinya telah dibuka Nabi. Mereka menutup apa yang telah Nabi buka. Akibatnya, ada masa ketika pemikiran Islam tidak berkembang alias jumud. Ini membawa dampak lanjutan yang begitu terasa hingga hari ini: umat Islam terpuruk, tertinggal, marjinal, tertekan, inferior, kecewa, dan kalah.
Dalam kelemahan seperti ini, sebagian mereka menggunakan cara-cara berbeda untuk mengatasinya. Pemikiran tak lagi dilawan dengan pemikiran, tetapi dengan senjata mematikan yang destruktif. Bukannya membuka mata terhadap kenyataan dan menerimanya untuk bangkit dengan cara cerdas, mereka memilih jalan kekerasan yang tidak hanya mencoreng, tetapi juga merusak dan menghancurkan peradaban manusia.
Klaim kebenaran tanpa disertai kebijaksanaan menyikapi perbedaan memang kerap berdampak buruk. Mengklaim pendapat sendiri sebagai benar, tentu saja sah. Namun, menjadi berbahaya jika mengklaim pandangan orang lain salah dan pendapatnyalah satu-satunya yang paling benar. Sementara pengetahuan setiap orang sangat dipengaruhi latar belakang dan situasi sosialnya. Tidak semua hal diketahui, dan sering kali yang tidak diketahui ini justru diketahui orang lain.
Sikap bijaksana terhadap perbedaan akan membuat kita menerima kenyataan ada kebenaran lain di luar diri kita. Ada pengetahuan lain yang tidak kita ketahui dan kita memerlukannya untuk melengkapi kekurangan kita alih-alih mengabaikannya.
Kita terkadang terlalu sombong dengan pengetahuan sedikit yang kita miliki. Ini ibarat katak dalam tempurung. Dunia kita hanya sebesar tempurung. Padahal, dunia begitu luas. Kita adalah makhluk sosial yang interaktif, berdialog dan berhubungan. Dengan itu kita bisa saling memberi dan menerima pengetahuan dari orang lain, berbagi pengalaman yang berbeda dengan pengalaman orang lain.
Di atas semua itu, kita punya kesadaran untuk saling menerima, bukan menjustifikasi pengetahuan atau pengalaman orang dengan pengetahuan dan pengalaman kita. Allah dalam Al Quran, misalnya, mengingatkan bahwa Dia menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka saling mengenal, mengetahui, memahami, menghormati, menghargai; bukan saling membenci, saling menyalahkan, saling mencela, saling menghakimi.
Tuhan menciptakan manusia secara berbeda-beda, baik dari aspek pengetahuan, pengalaman, latar belakang, kultur, atau yang lainnya, agar bekerja sama, bergotong royong, dan tolong-menolong. Tidak ada satu pun orang yang selalu benar, atau sebaliknya. Selalu ada kebenaran di dalam diri orang lain. Itu yang, misalnya, Nabi katakan sebagai ”hikmah” (kebijaksanaan) yang perlu diambil, bukan diabaikan atau dicampakkan hanya karena rasa iri, dengki, atau sombong sebab tidak memilikinya. Sepanjang itu positif, ia seyogianya mengambilnya dan berterima kasih untuk itu.
Keluar dari tempurung
Lautan kebenaran yang disebutkan Newton ada pada setiap diri manusia. Di luar mereka, masih banyak kebenaran yang belum ditemukan, dan itu masih sangat besar. Orang baru akan mendapatkannya ketika ia berani keluar dari tempurung yang sempit untuk menyingkap pengetahuan yang masih tertutup awan gulita. Di bumi saja, belum tentu semua hal diketahui, apalagi yang di langit; bintang, planet, komet, galaksi, asteroid, dan seterusnya.
Manusia di bumi tidak tahu sepenuhnya apa dan bagaimana di sana. Apakah ada penghuninya? Jika ada, apakah seperti makhluk di bumi? Jika tak ada, lalu kenapa itu ada dan berbeda dengan bumi?
Oleh karena itu, rasanya naif jika ada yang merasa paling
benar, pintar, dan berpengetahuan, sembari merendahkan orang lain. Manusia terus berproses, berkembang, dan ”menuju” tanpa pernah ”sampai” ke titik final.
Selalu ada yang baru dalam kehidupan. Siapa pun yang sudah menemukannya layak diapresiasi dan dihormati dengan pikiran terbuka. Newton seakan-akan memberi kita pesan: jangan terus menjadi anak-anak yang bermain di tepi pantai; kita mesti beranjak menjadi pelaut yang berani mengarungi lautan kebenaran yang begitu luas untuk menyingkap rahasia dan misterinya.
Fajar Kurnianto Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta