Dalam waktu kurang dari satu menit, dua pasangan calon di Pilpres 2019 memutuskan menambahkan angka nol di depan nomor urut mereka. Cepatnya kesepakatan ini diambil, jadi sinyal positif di awal kampanye.
Penentuan nomor urut calon presiden dan wakil presiden, Jumat (21/09/2018) malam menjadi penanda cairnya relasi para elite politik. Kata “persatuan”, “kekeluargaan”, “sahabat” yang muncul dari dua calon presiden, yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo, memberi angin sejuk bahwa masa kampanye akan berlangsung dalam suasana damai. Namun, bisakah pesan elite itu bisa ditangkap dengan baik oleh para pendukung di akar rumput?
Relasi yang cair di antara para kandidat itu, terlihat dalam beberapa kesempatan penentuan nomor urut capres dan cawapres yang berlangsung di Ruang Sidang Lantai II Gedung KPU di Jakarta. Suasana cair itu sejenak meredakan kesan persaingan ketat di antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo yang kembali bertemu dalam pemilihan presiden (pilpres). Sebelumnya, mereka juga berkontestasi di Pilpres 2014.
Pilpres 2014 dinilai sejumlah kalangan di Indonesia hingga kini masih menyisakan “residu” berupa fragmentasi di masyarakat. Di media sosial, pembelahan sikap politik dan dukungan itu tergambar dengan kuat. Muncul pula nama ejekan yang disematkan dari masing-masing “kubu” bagi para pendukung kedua tokoh tersebut. Julukan itu seolah memperkuat “kami” dan “kalian” di ruang publik.
Saat penentuan nomor urut capres dan cawapres, para pendukung kedua pasangan calon dicoba untuk “dipisahkan”, di jalan di depan gedung KPU di Jalan Imam Bonjol, maupun di ruang tunggu pendukung di lantai 1 maupun ruang sidang di lantai 2 di Gedung KPU. Pintu masuk dua pasangan capres-cawapres berikut pendukungnya juga dipisah.
"Ditata biar tertib. Persoalannya itu kan bukan di dua orang itu tetapi di belakangnya pengikutnya itu," jelas anggota KPU Hasyim Asy’ari saat ditanya tentang kebijakan itu.
Kendati ada pemisahan tersebut, ketika masing-masing pendukung masuk dari gerbang berbeda dan duduk di deretan berbeda, para elite parpol tersebut saling bersalaman, menyapa, dan bergurau. Pidato para calon presiden dan wakil presiden itu pun juga bernama inklusi, seperti mencoba melenturkan sekat “kami” dan “kalian”.
Prabowo Subianto, saat membuka pidatonya, selain menyapa penyelenggara pemilu, juga menyapa Joko Widodo dengan menyebut “yang saya hormati, bapak Joko Widodo, Presiden RI, yang juga menjadi calon presiden. Yang saya hormati, calon Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.” Saat mengucapkan sapaan itu, Prabowo yang berdiri menghadap para peserta, sedikit memiringkan badannya, sehingga posisinya tidak sepenuhnya membelakangi panggung di mana pasangan Jokowi-Ma’ruf duduk.
Sebelum pidato Prabowo, Jokowijuga menyapa Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan sebutan “sahabat baik”. “Saya ingin meski berkontestasi, saya masih bisa bertelepon dengan Bapak Prabowo dan Bapak Sandiaga. Saya kenal Bapak Prabowo sejak lama, saya kenal Bapak Sandi juga sejak lama," ujar Jokowi.
Pada sidang rapat pleno terbuka itu, pasangan Jokowi-Ma\'ruf mendapat nomor urut 01 dan pasangan Prabowo-Sandiaga mendapat nomor 02. Suasana cair di antara dua pasangan calon itu juga kemudian diungkapkan Sandiaga saat ia berpidato. menceritakan bagaimana tali persaudaraan itu tetap saling dijaga satu sama lain, bahkan hingga detik-detik akhir proses penentuan nomor urut paslon.
Satu menit
Sebelum acara dimulai, kedua paslon bertemu di sebuah ruangan transit untuk mendiskusikan soal nomor urut yang nantinya akan digunakan. Dalam pertemuan yang tak hanya sampai satu menit itu, semua sepakat untuk menambahkan angka nol di depan nomor urut agar tidak menimbulkan persoalan. Sebab, nomor urut 1 dan nomor urut 2 sudah digunakan oleh partai politik peserta pemilu.
Dalam Pemilu 2019, ada 16 parpol nasional dan 4 partai lokal Aceh. Dengan demikian nomor 1-20 sudah digunakan untuk partai politik. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, di 34 provinsi kemudian menggunakan nomor urut mulai dari nomor 21, dan seterusnya untuk menghidari kegandan dengan nomor urut parpol.
"Pak Prabowo dan Pak Jokowi dengan santainya, dengan cairnya memutuskan menambah angka nol di depan, 01 dan 02. Tak sampai satu menit. Itu menunjukkan bahwa kami bersahabat. Kami ingin pemilu yang mempersatukan, menunjung tinggi keberagaman, menjunjung tinggi persatuan, keteduhan, dan kesejukan," ujar Sandiaga disambut tepuk tangan para pendukung kedua pasangan calon.
Suasana yang cair itu diapresiasi oleh KPU. Anggota KPU Wahyu Setiawan juga mengonfirmasi suasana yang cair saat pertemuan dua pasangan calon tersebut. Menurut dia, kedua pasangan calon sudah memberikan pendidikan politik yang baik bahwa kontestasi pilpres bisa dilakukan dalam suasana yang penuh dengan rasa kekeluargaan dan saling menghormati.
“Harapan kami, sikap itu menjadi inspirasi masyarakat, sehingga tahapan kampanye yang akan diselenggarakan juga bisa berlangsung aman, damai, dan demokratis,” kata Wahyu.
Pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina Jakarta Hendri Satrio menilai pesan dari elite itu baru akan beresonansi dengan akar rumput jika mereka pesan itu terus diulang-ulang oleh calon presiden dan wakil presiden dalam berbagai pertemuan dan berbagai medium, baik media konvensional maupun media sosial.
“Jangan bosan-bosan suarakan komitmen tersebut. Jadikan pilpres yang cerita penuh persaudaraan. Jika hal itu tidak dilakukan terus menerus, maka di bawah bisa tidak sesuai dengan harapan capres,” katanya.
Bisakah hal ini dilakukan terus oleh para elite? Kita tunggu saja