JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran tentang identitas sebagai bangsa maritim masih minim dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akibatnya, potensi maritim kurang dimanfaatkan padahal bisa membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
Hal ini mengemuka dalam diskusi peluncuran buku “Fondasi Negara Maritim”dan “KASAL Kedua dari Tanah Pasundan”, yang ditulis mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Ade Supandi, Kamis (18/10/2018) di Jakarta.
Ade mengatakan, terdorong untuk menulis karena ia merasa sedih. Pasalnya, Indonesia yang wilayahnya terdiri dua pertiga lautan, masih kekurangan literatur tentang maritim. Padahal, seharusnya anak-anak bangsa Indonesia menguasa ilmu tentang kelautan. “Hanya 1 persen dari penduduk Indonesia yang mempelajari ilmu kelautan,”kata Ade.
Hadir dalam acara peluncuran buku ini antara lain KASAL Laksamana Siwi Sukma Adji, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh, sejarawan Anhar Gonggong, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan IPB Rokhmin Dahuri serta mantan Menko Maritim Indroyono Susilo.
Siwi mengatakan, kedua buku yang ditulis Ade Supandi itu merefleksikan tata cara berpikir yang tidak sekedar memberikan gagasan. Namun yang lebih penting, juga ikut serta dalam proses dan implementasi membangun Indonesia sebagai negara maritim yang kuat.
Bernard Kent Sondakh mengatakan, dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi dan karakter maritim yang kuat untuk membawa Indonesia menjadi bangsa maritim. Yang dimaksud dengan maritim tidak saja permukaan, tetapi juga bawah permukaan hingga dasar laut. Pemahaman terhadap maritim ini yang akan menelurkan kebijakan yang tersusun secara strategis.
Sementara Indroyono mengatakan, setelah buku tentang fondasi maritim ini diluncurkan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana Indonesia membangun tubuh negara maritim. Ia menilai, saat ini sudah banyak kemajuan seperti kemampuan PT PAL mengekspor kapal ke Filipina hingga banyaknya galangan kapal yang ada. Sayangnya, dari 10 sektor penyumbang devisi terbanyak tahun 2017, belum ada dari sektor maritim, kecuali migas.
Tingginya potensi maritime juga disoroti Rokhmin Dahuri yang memberi contoh dengan tambak udang dan alga sebagai energi terbarukan. Menurutnya, meski hanya 17 persen dari potensi tambak udang itu yang digunakan, sudah bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi hingga 2 persen setahun. Sementara untuk energi baru terbarukan, ia memaparkan hasil penelitian tentang bahan bakar dari alga. “Kita perlu mengatur dan memanfaatkan laut dengan menggunakan ilmu pengetahuan, baru kita bisa makmur dari laut,” tandas Rokhmin.
Menurut Anhar, buku-buku seperti yang ditulis tentang maritim penting untuk menyadarkan tentang identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Laut tidak hanya menjadi potensi ekonomi. Namun, budaya bahari juga telah ikut membangun proses persatuan dan pelestari kesatuan bangsa.