Percayakan kepada Pengawas Tempat Pemungutan Suara
Permintaan agar saksi partai politik peserta Pemilu 2019 dibiayai negara dinilai tidak logis. Pasalnya, negara melalui Bawaslu telah membiayai pengawas di setiap tempat pemungutan suara. Partai diminta memanfaatkan pengawas TPS dari Bawaslu.
JAKARTA, KOMPAS - Keterbatasan partai politik menghadirkan saksi untuk mengawal proses pemilu sudah terjawab dengan keharusan negara melalui Badan Pengawas Pemilu menghadirkan pengawas di setiap tempat pemungutan suara. Menjadi tak logis jika partai kembali menuntut negara membiayai saksi partai.
Apabila tidak mampu menyediakan saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS), seharusnya partai memercayakan pengawasan kepada pengawas TPS dari Bawaslu. Meminta kembali negara membiayai saksi partai justru berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada Bawaslu, merusak fungsi partai, dan melanggar hukum.
Pada Pemilu 2019, untuk pertama kalinya pengawas TPS dari Bawaslu harus ada di setiap TPS. Ini sesuai dengan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Untuk kepentingan itu, negara pun sudah mengalokasikan anggaran yang besar di Bawaslu.
Setiap pengawas TPS dialokasikan mendapat honor Rp 500.000. Dengan jumlah total TPS di 2019 sekitar 805.000, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 402,5 miliar.
Sementara anggaran saksi partai yang diajukan Komisi II DPR untuk dibahas Badan Anggaran DPR bersama pemerintah agar bisa dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2019 mencapai Rp 3,9 triliun.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, Jumat (19/10/2018), mengatakan, tidak hanya mengharuskan adanya pengawas Bawaslu di setiap TPS, negara juga diminta membiayai pelatihan saksi partai.
Aturan yang baru ada pada pemilu berikutnya, sesuai amanah UU No 7/2017, juga untuk membantu meringankan partai yang membutuhkan biaya besar guna pengadaan saksi. ”Jadi, tidak logis jika sekarang DPR kembali meminta pembiayaan saksi partai oleh negara,” ujarnya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi menambahkan, jika meragukan kapasitas pengawas TPS, masih ada banyak waktu bagi partai untuk memberi masukan kepada Bawaslu. Ini khususnya terkait hal-hal yang perlu diawasi pengawas TPS. ”Kalau itu belum cukup juga, partai bisa mendorong partisipasi publik untuk membantu mengawasi,” katanya.
Apabila tidak mampu menyediakan saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS), seharusnya partai memercayakan pengawasan kepada pengawas TPS dari Bawaslu. Meminta kembali negara membiayai saksi partai justru berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada Bawaslu, merusak fungsi partai, dan melanggar hukum
Merusak
Jika DPR tetap memaksakan pembiayaan saksi oleh negara, Titi melanjutkan, banyak ekses negatif yang diperkirakan muncul. Ketidakpercayaan DPR kepada pengawas TPS dan Bawaslu, misalnya, berpotensi membuat publik tidak memercayai pula kerja mereka.
Selain itu, pembiayaan saksi oleh negara akan merusak partai. Sebab, ujarnya, adanya akses bagi saksi partai di TPS merupakan upaya menggerakkan kader untuk mengawal suara partai. Alasannya ideologis, bukan pragmatis digerakkan oleh uang.
”Kalau negara dibiarkan membiayai, partai akan semakin lemah, pragmatis, dan uang akan menjadi unsur utama dalam tata kelola partai,” katanya.
Permintaan pembiayaan saksi oleh negara pertama kali dimunculkan Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zainudin Amali. Dia menyebut, permintaan itu merupakan keputusan bersama semua fraksi di Komisi II. Namun, hal ini dibantah Fraksi PDI-P dan Fraksi Nasdem.
“Saksi partai itu sebenarnya kader atau anggota partai. Jadi ketika mereka menjadi saksi, basis mereka bekerja itu kesukarelawanan. Mereka punya kewajiban secara moral dan politik, untuk mengawal dan mengamankan suara partai,” kata Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo.
Kalaupun kemudian partai atau calon anggota legislatif (caleg) memberi honor untuk saksi, honor semata sebagai bentuk dukungan pada kerja mereka. “Mereka harus seharian mengawal suara, sehingga harus dibantu makannya, minumnya. Supaya tidak ribet, ya itu diberikan dalam bentuk honor,” katanya.
Berhenti dibahas
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, dengan jawaban pemerintah yang menolak pembiayaan saksi partai oleh negara, maka tidak bisa lagi Banggar DPR meminta pemerintah agar permintaan yang dimunculkan Komisi II DPR, dikabulkan.
Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae juga mengatakan, usulan pembiayaan dana saksi partai politik oleh negara tidak akan lagi diungkit dalam rapat-rapat Banggar DPR dengan pemerintah. Penjelasan dari Pemerintah, menurut dia, sudah cukup untuk tidak melanjutkan usulan pendanaan saksi oleh negara.
“Sebuah keputusan politik harus bersama-sama, DPR dan Pemerintah, jadi tidak bisa dipaksakan. Kami juga paham, negara sedang butuh uang untuk pembayaran utang dan bencana di Palu dan Lombok,” ujar Ridwan.
Ia mengatakan, jika kemampuan finansial negara memang tidak memungkinkan untuk membiayai dana saksi partai politik di Pemilihan Umum 2019, partai dan caleg masing-masing sekarang harus mencari uang sendiri.
Ridwan mengatakan, biaya saksi yang dikeluarkan di lapangan pada kenyataannya lebih besar dari jumlah rata-rata Rp 100 ribu per saksi yang biasanya dikeluarkan partai. Sebab, ada kemungkinan saksi milik partai ‘diambil’ oleh caleg atau partai lain di lapangan melalui tawaran upah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, caleg harus bersiap mengeluarkan uang lebih banyak untuk berjaga-jaga jika saksinya diambil oleh caleg lain.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, alokasi anggaran untuk pembiayaan saksi seharusnya masih bisa diperjuangkan. Ia mengatakan, persoalan dana saksi yang tinggi dan harus ditanggung partai dan caleg menjadi salah satu penyebab anggota DPR dan politisi bermain proyek dan terlibat kasus korupsi.
“Lebih baik diresmikan, dibiayai oleh negara, semua selesai. Kalau ada yang nakal (dengan penggunaan anggaran), potong tangannya. Sekarang ini, kan aneh, partai tidak boleh cari uang tapi ada biaya tinggi yang harus ditanggung, lalu bagaimana?” ucapnya.