Pemilu 17 April 2019 akan menjadi penentuan bagi Presiden Joko Widodo apakah apresiasi masyarakat terhadap kinerjanya selama ini ekuivalen dengan kemenangannya atau tidak. Gejala belakangan ini, faktor kinerja hanya menjadi salah satu komponen dalam sebuah kontestasi memperebutkan kekuasaan politik.
Selama empat tahun kekuasaannya, kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi ada di kisaran yang bisa disebut relatif aman. Bahkan, sejak 1,5 tahun pemerintahannya hingga kini, kepuasan masyarakat secara keseluruhan berada di kisaran 63-72 persen.
Selain itu, dalam empat tahun ini, Jokowi telah menancapkan sejumlah penanda dalam perjalanan pemerintahannya. Pembangunan infrastruktur membekaskan kehadiran Jokowi pada ruas-ruas jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, hingga pasar-pasar di wilayah yang jauh dari ibu kota negara.
Kondisi ini membuat sosok Jokowi tertanam kokoh di lapisan masyarakat bawah. Petani, nelayan, pedagang kecil, dan pekerja-pekerja upah rendah adalah kalangan yang lebih lama merekam jejak Jokowi.
Kelompok masyarakat bawah inilah yang kemudian memberikan dukungan paling kuat pada pencalonan kembali Jokowi pada Pemilu 2019. Mereka menjadi benteng yang menahan terkikisnya suara pada masyarakat lapisan menengah dan atas. Dua kelompok terakhir ini, walaupun sejauh ini lebih banyak yang mendukung pencalonan Jokowi-Ma’ruf Amin, menjadi kelompok yang lebih labil dan responsif terhadap berbagai isu.
Jika pada lapisan masyarakat bawah kinerja pemerintahan dapat menjadi fondasi yang cukup kokoh bagi keterpilihan kembali Jokowi, lapisan menengah dan atas memerlukan lebih dari itu. Kelompok ini dapat dikatakan selalu haus atribut baru, identitas yang aktual. Mereka juga selalu tertarik pada mainan baru.
Aksi Jokowi dalam beberapa peristiwa besar, seperti Asian Games atau dalam pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, memang menciptakan ikon yang mampu menyedot perhatian kelas ini. Namun, atribut yang dimunculkan lawan politiknya dengan tagar #2019GantiPresiden juga menjadi identitas yang cukup kuat menyedot kalangan ini.
Kondisi ini membuat bagi kalangan menengah dan atas, pemilu bukan hanya persoalan adu kuat kinerja, melainkan juga menjadi pertarungan antarkandidat dalam menciptakan kekuatan identitas di satu sisi, dan meruncingkan label di sisi lain.
Kepiawaian dalam membentuk identitas baru akan turut menentukan hasil akhir Pemilu 2019, bukan hanya untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, melainkan juga bagi partai politik.
Sistem pemilu baru
Pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang digelar serentak pada Pemilu 2019 membuat nasib parpol turut ditentukan oleh figur calon yang diusungnya. Parpol yang punya kader untuk berada di pentas pencalonan presiden akan lebih diuntungkan.
Gejala itu juga terekam lewat survei terbaru yang dilakukan Litbang Kompas. PDI Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya menjadi partai yang paling diuntungkan oleh sistem pemilu serentak ini.
Sementara itu, sejumlah parpol tengah kemungkinan akan stagnan atau menurun karena fokus masyarakat lebih banyak kepada pemilihan presiden.
Parpol-parpol ini bergerak dalam ruang perhatian yang sempit. Dengan ambang batas parlemen yang juga menjadi 4 persen (sebelumnya 3,5 persen), sejumlah parpol lama kemungkinan akan menjadi parpol nonparlemen dan parpol baru pun sulit mencapai suara minimal yang dipersyaratkan.
Terlebih, dengan perubahan sistem penghitungan kursi yang kini memakai pola Sainte Lague, proporsi yang dihasilkan akan mengurangi keberuntungan seperti yang didapat pada sistem sebelumnya.
Penetapan capres dan cawapres serta parpol dan calonnya yang akan bertarung pada Pemilu 2019 sedikit banyak berpengaruh terhadap penilaian kinerja pemerintah ataupun elektabilitas capres dan parpol. Namun, masa kampanye yang masih enam bulan dapat menciptakan berbagai kemungkinan dan peluang baru.
Selama tiga hari berturut-turut, harian Kompas akan menurunkan hasil riset yang mengupas penilaian terhadap kinerja pemerintah, peta kekuatan partai politik, dan elektabilitas calon presiden.