Lebih dari 100 kepala daerah dan puluhan anggota legislatif sejak Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri terjerat kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi tersebut seharusnya menjadi pelajaran dengan menghindari kasus korupsi. Namun, yang terjadi justru berbeda, kasus korupsi kepala daerah dan anggota legislatif terus bertambah. Ucapan penyesalan dengan raut wajah bersalah tak pernah ditunjukkan oleh mereka yang tertangkap tangan dan menggunakan rompi oranye saat berstatus tersangka korupsi.
Sejumlah pejabat publik bahkan ada yang pernah datang ke KPK ikut menandatangani pakta integritas antikorupsi. Sebagian lainnya meminta KPK mendampinginya agar tak terjebak jerat korupsi. Sebut saja Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang pernah mendapat penghargaan antikorupsi, tetapi akhirnya dibui karena korupsi. Juga Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang mengirim surat ke KPK untuk meminta pendampingan. Saat itu Wakil Ketua KPK Saut Situmorang bahkan turun ke Aceh.
Yang fenomenal adalah kasus bekas Ketua DPR Setya Novanto, yang sebelum kasusnya diselisik KPK, dan kini menjadi narapidana korupsi, jelas-jelas pernah mendukung langkah KPK bersama pimpinan lembaga lainnya dalam pemberantasan korupsi. Bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman sebelum kasus suapnya juga beberapa kali ke KPK dan berdiskusi mendukung langkah KPK dalam memberantas korupsi.
Namun, mengapa justru tokoh-tokoh dan pejabat publik tersebut mengingkari sikap dan komitmen awalnya dengan jatuh dalam kubangan yang sama pada kasus korupsi?
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Hamdi Muluk, fenomena yang terjadi pada para pejabat publik di pusat dan daerah tersebut menggambarkan pertemuan antara buah apel busuk (bad apple) dan sistem yang buruk.
”Di tengah sistem yang tidak bersih itu, orang yang memiliki bibit-bibit kurang baik atau apel busuk memang gampang tergoda. Jadi, ada kombinasi. Sistem yang rusak akan menjadi celah bagi orang-orang yang memang berniat buruk sejak awal,” ujar Hamdi saat dihubungi, Selasa (11/12/2018), di Jakarta.
Umumnya orang yang terlibat kasus korupsi telah menyalahgunakan komitmennya sebagai pejabat publik. Namun, dengan berbagai dalih, mereka memberikan argumentasi yang seolah-olah menjadi sebuah pembenaran. Padahal, dalih yang terbukti di persidangan, mereka terjebak kasus korupsi karena mahalnya biaya politik saat pemilihan kepala daerah.
Mahalnya biaya politik ini memang tak bisa dimungkiri. Kebutuhan dana kampanye dalam pilkada tergolong sangat besar. Kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri memperkirakan biaya kampanye pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar, sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Tak heran, ketika biaya politik kian irasional, godaan untuk mengembalikan biaya politik semakin kencang.
”Makanya, banyak orang yang mencoba korupsi walau tahu risikonya akan tertangkap. Mereka suka bilang begini, ’kami lagi sial saja, masih banyak pelaku lainnya belum tertangkap’,” tutur Hamdi.
Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, banyak faktor yang mendorong komitmen awal pejabat dan tokoh publik atas pemerintahan bersih tetapi kemudian terjebak dalam lingkaran korupsi. ”Mulai dari keluarga, ada dari birokrat, ada dari legislatif, partai politik, bahkan karena melihat ada kesempatan sehingga tergoda,” ujar Ade.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito, memperkuat pendapat tersebut. Pakta integritas merupakan syarat formal yang sebenarnya berfungsi menguatkan kepala daerah. Namun, semuanya itu kembali lagi pada komitmen diri pejabat dan tokoh publik itu sendiri.