JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki metode perbaikan sistem untuk mengontrol dana bantuan pendidikan agar tepat sasaran. Akan tetapi, dana bantuan pendidikan yang disalurkan ke daerah terkadang masuk melalui dana alokasi khusus yang mempunyai celah besar penyelewengan.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, di Jakarta, Minggu (16/12/2018), mengatakan, sejauh ini perbaikan sistem yang telah dilakukan di sebagian daerah untuk penyaluran hingga pengawasannya meski pengawasan di daerah lewat aparat pengawas internal pemerintah masih lemah.
”Persoalan semacam ini tidak dapat diselesaikan satu sisi. Peran kepala daerah turut berpengaruh, kompetensi dan integritas APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) juga. Juga dengan pegawai negeri sipilnya. Kalau yang masuk dari dana alokasi khusus atau dana dekonsentrasi akan jauh lebih rawan dikorupsi,” kata Pahala.
Celah yang terjadi, lanjutnya, karena terjadi kongkalikong dengan DPR RI. ”Jadi, DPR di hulu dan bupati di hilirnya. Ini yang membuat banyak kebocoran dan sampai ke masyarakat tidak sesuai,” ujar Pahala.
Berdasarkan data milik Indonesia Corruption Watch (ICW), dinas pendidikan menjadi lembaga yang rentan korupsi. Selain itu, ada sekolah, universitas, beserta pemerintah daerah. Data terakhir sejak 2005-2016, ada 214 kasus korupsi pendidikan terjadi di dinas pendidikan. Jumlah itu bagian dari sekitar 425 kasus korupsi yang berhasil didata ICW.
Wakil Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, dana alokasi khusus kerap menjadi obyek korupsi pendidikan. Selanjutnya, diikuti penyelewengan pengadaan barang dan jasa, infrastruktur, hingga dana bantuan operasional sekolah dan dana pengadaan buku cetak untuk siswa.
Padahal, merujuk pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, anggaran pendidikan di daerah jauh dari sesuai karena tidak mencapai 20 persen dari APBD. Dengan alokasi anggaran yang tidak sesuai, itu pun masih dikorupsi.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Cianjur, yakni anggaran pendidikan sebesar Rp 46,8 miliar yang tidak mencapai 20 persen APBD sesuai aturan masih diambil 14,5 persen untuk kepala daerah dan jajarannya. Belum lagi di Kabupaten Nganjuk, yaitu korupsi jual beli jabatan kepala sekolah.
”Tidak bisa dimungkiri juga. Anggaran pendidikan dikelola oleh dinas pendidikan daerah dan dikendalikan oleh kepala daerah. Setidaknya ada sekitar 64,9 persen anggaran pendidikan nasional diturunkan dan dikelola oleh lembaga pendidikan daerah-daerah,” ujar Ade.
Untuk itu, proses penganggaran yang terbuka sudah sepantasnya didorong untuk menghindari kebocoran semacam ini. Pengawasan juga perlu diperketat. terlebih lagi di saat pemerintah sedang gencar berupaya melawan korupsi dan memajukan pendidikan. Bahkan, institusi pendidikan semestinya juga menjadi garda untuk membangun generasi antikorupsi.