Rasio Guru dan Murid Kian Timpang
Jumlah guru pada jenjang pendidikan dasar di Indonesia berkurang dalam empat tahun terakhir. Padahal, jumlah sekolah mengalami peningkatan pada kurun waktu yang sama. Hal itu berdampak terhadap semakin melebarnya ketimpangan jumlah guru dan murid di Indonesia.
Penurunan jumlah guru terjadi pada setiap jenjang pendidikan dasar, baik sekolah dasar (SD) maupun sekolah menengah pertama (SMP). Hal ini terjadi sejak tahun ajaran 2014/2015 hingga 2017/2018 di sejumlah daerah.
Pada tingkat SD, jumlah guru berkurang hingga 209.747 guru atau 12,37 persen selama empat tahun terakhir. Setiap tahunnya terjadi penurunan jumlah guru SD. Padahal, jumlah sekolah meningkat sebanyak 731 SD atau 0,5 persen pada kurun waktu yang sama.
Senada dengan itu, jumlah guru pada jenjang SMP juga mengalami penurunan selama empat tahun terakhir. Pada tahun ajaran 2014/2015, jumlah guru SMP di Indonesia mencapai 759.442 guru. Jumlah ini mengalami penurunan menjadi sejumlah 131.390 guru atau 17,3 persen pada tahun ajaran 2017/2018.
Penurunan jumlah guru SMP ini berbanding terbalik dengan jumlah sekolah yang menunjukkan tren peningkatan. Selama empat tahun ajaran terakhir terdapat penambahan 2.442 sekolah atau sebesar 6,69 persen.
Usia pensiun
Penurunan jumlah guru ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah banyaknya guru yang memasuki usia pensiun. Setiap tahunnya terdapat puluhan hingga ratusan ribu guru pada setiap tingkat pendidikan yang masuk kategori usia di atas 56 tahun.
Pada tahun 2014/2015, misalnya, jumlah guru SD yang masuk kategori usia di atas 56 tahun mencapai 181.989 guru atau 10,73 persen dari total guru SD secara nasional. Guru yang masuk kategori usia tersebut meningkat pada tahun ajaran berikutnya, menjadi 213.689 guru atau 12,97 persen dari total guru SD di Indonesia.
Hal serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan SMP. Pada tahun ajaran 2014/2015, jumlah guru yang memasuki usia di atas 56 tahun mencapai 52.493 guru atau 6,91 persen dari total guru SMP di Indonesia. Jumlah guru SMP pada kategori usia ini meningkat pada tahun ajaran 2015/2016 menjadi 77.210 guru atau 11,98 persen dari jumlah guru SMP secara nasional.
Tingginya jumlah guru yang mulai memasuki usia pensiun tentunya berdampak terhadap banyaknya guru yang pensiun pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah guru di Indonesia pada jenjang pendidikan dasar.
Selain faktor usia, berkurangnya jumlah guru juga disebabkan oleh moratorium pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 2015. Penerimaan guru sebagai PNS baru dibuka kembali pada tahun 2018. Akibatnya, sejumlah daerah mengalami kekurangan jumlah guru.
Pada tingkat SD, Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah yang mengalami penurunan jumlah guru tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, jumlah guru di daerah ini berkurang hingga 20 persen.
Sementara pada tingkat SMP, Provinsi Lampung menjadi daerah dengan penurunan jumlah guru tertinggi di Indonesia. Jumlah guru SMP di Lampung berkurang hingga 23,95 persen selama empat tahun terakhir.
Distribusi guru
Penurunan jumlah guru di Indonesia berdampak terhadap makin tidak meratanya distribusi guru di sejumlah daerah. Pada jenjang pendidikan SD, setiap sekolah rata-rata memiliki 11 guru saat tahun ajaran 2014/2015. Jumlah ini turun menjadi 10 guru per sekolah pada tahun ajaran 2017/2018.
Hal serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan SMP. Pada tahun ajaran 2017/2018, rata-rata setiap sekolah memiliki 16 guru. Jumlah guru ini lebih sedikit dibandingkan dengan empat tahun ajaran sebelumnya saat setiap sekolah memiliki 21 guru. Artinya, secara rata-rata terdapat penurunan lima guru di setiap sekolah.
Kesenjangan antara ketersediaan guru dan jumlah siswa juga semakin melebar. Pada tahun ajaran 2014/2015, setiap guru SD rata-rata mengampu 15 siswa. Jumlah ini naik pada tahun ajaran 2017/2018 menjadi 17 siswa per guru. Artinya, setiap guru harus mengajar siswa dengan jumlah yang lebih banyak.
Hal serupa juga terjadi pada jenjang SMP. Pada tahun ajaran 2017/2018, setiap guru mengampu 16 siswa. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya saat setiap guru rata-rata hanya mengajar 13 peserta didik.
Jika melihat perbandingan antara jumlah guru dan siswa, ketersediaan guru di Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar sebenarnya telah mencukupi. Pada jenjang SD, misalnya, menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013, setiap sekolah harus memiliki satu guru untuk setiap 32 peserta didik. Sementara pada tahun ajaran 2017/2018, rata-rata setiap guru SD hanya mengampu 17 peserta didik.
Hanya saja, hingga tahun ajaran 2017/2018, masih terjadi kesenjangan distribusi tenaga pengajar di sejumlah daerah. Pada daerah Papua, misalnya, setiap guru SD mengampu 28 siswa. Sementara pada daerah lainnya, seperti Kalimantan Tengah, rata-rata setiap guru hanya mengajar 13 siswa.
Berdasarkan jumlah sekolah, setiap SD pada daerah Papua rata-rata hanya memiliki tujuh guru pada tahun ajaran 2017/2018. Rasio ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan daerah Jakarta yang rata-rata memiliki 15 guru untuk setiap SD.
Rendahnya ketersediaan guru di Papua berbanding terbalik dengan pembangunan sekolah pada daerah tersebut. Papua adalah salah satu daerah dengan pertumbuhan jumlah sekolah tertinggi di Indonesia. Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah SD di Papua meningkat hingga 6,5 persen, sementara jumlah SMP juga meningkat hingga 11,59 persen.
Pada tingkat SMP, penurunan jumlah guru juga berdampak terhadap ketimpangan distribusi guru di sejumlah daerah. Sebagai perbandingan, setiap sekolah di Provinsi Bali memiliki 29 guru pada tahun ajaran 2017/2018. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah guru di Maluku Utara sebesar 10 guru untuk setiap sekolah.
Berkurangnya jumlah guru pada saat bertambahnya jumlah sekolah tentunya berdampak terhadap semakin sulitnya memeratakan jumlah guru. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan penyerapan guru secara proporsional, khususnya pada daerah dengan pertumbuhan sekolah yang tinggi, tetapi memiliki rasio guru yang minim, seperti Papua. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)