Bersamaan dengan turunnya tensi pertempuran dan munculnya inisiatif perundingan serta rekonsiliasi di kawasan Timur Tengah, seperti terlihat di Suriah, Yaman, dan Libya, ada diskursus di kalangan pengamat internasional soal kemungkinan pecahnya perang baru di kawasan itu. Ada kekhawatiran, meningkatnya permusuhan antara Amerika Serikat—yang diprovokasi Israel—dan Iran bisa berujung pada perang baru.
Ancaman perang baru itu, seperti ditulis majalah Economist, bakal semakin terasa pada 2019 yang sebentar lagi tiba. Jika bukan karena desain yang sengaja dirancang, perang baru tersebut bisa tepercik oleh kesalahan. Insiden tertembaknya pesawat pengintai Rusia oleh rudal Suriah, saat membidik pesawat pengebom Israel pada September lalu, memberi peringatan soal insiden-insiden yang bisa terjadi tanpa diduga.
Tahun 2018 menjadi saksi keberpihakan mutlak dan dukungan buta pemerintahan Presiden AS Donald Trump kepada Israel. Pada bulan Mei, misalnya, dua langkah Trump seperti mengipasi bara yang ada: pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem dan mundurnya AS dari kesepakatan nuklir Iran.
Marc Lynch, profesor ilmu politik dan masalah internasional di Universitas George Washington, berpendapat, dukungan penuh Washington kepada Israel bukan hanya memperdalam keterisolasian AS di kancah internasional, melainkan juga mempercepat kemungkinan pecahnya konflik baru. Negara- negara Arab Teluk juga semakin waswas dengan Iran (Foreign Affairs, Agustus 2018).
Eropa—melalui Jerman, Perancis, dan Inggris yang ikut menandatangani kesepakatan— berjuang keras untuk mempertahankan agar perjanjian nuklir Iran tidak kolaps. Kekhawatiran Eropa lebih karena dampak yang terjadi jika AS atau Israel dan negara-negara mitra Arab memantik perang pada Iran. Seperti pada perang Suriah, perang baru bakal berdampak pada banjirnya pengungsi dan pencari suaka ke Eropa.
Dilema keamanan
Lynch menyebut gejolak di kawasan Timteng merupakan produk istilah klasik yang disebut ”dilema keamanan”. Saat negara-negara berusaha meningkatkan keamanan mereka, mereka memantik tindakan- tindakan baru yang justru akan membuat mereka lebih tidak aman dari situasi sebelumnya.
Di Arab Saudi, misalnya, di tengah upaya Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman mengonsolidasi kekuasaannya dari ancaman domestik, beberapa kebijakan luar negerinya menggambarkan sindrom dilema keamanan itu. Intervensinya dalam konflik di Yaman—dengan asumsi koalisi yang dipimpin Arab Saudi bakal menang mudah—diharapkan bisa memobilisasi dukungan di dalam negerinya. Ia merasa belum cukup mendapat dukungan domestik melalui reformasi yang digulirkannya, Visi 2030.
Dipicu oleh kasus terbunuhnya wartawan senior Arab Saudi Jamal Khashoggi, Oktober lalu, Riyadh kebanjiran tekanan dari sana-sini agar menghentikan perang Yaman. Tekanan juga datang dari para senator di negara mitra dekatnya, AS, yang mengeluarkan resolusi menekan Riyadh, akhir 2018.
Dalam situasi kawasan yang diwarnai dilema keamanan itu, negara-negara di kawasan merasa tidak ada jaminan dari AS. Dalam kasus konflik antara Qatar dan empat negara Arab yang dimotori Arab Saudi, Washington tak bisa diharapkan menjadi jembatan perdamaian.
Bisa dimaklumi jika negara- negara mitra AS itu juga membangun hubungan dengan China, Rusia, dan Uni Eropa. Hal ini yang diperlihatkan oleh Mesir, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab, dan juga Jordania. Dalam konflik Suriah, kunci menuju solusi tidak berada di tangan AS, tetapi Rusia.