Vandalisme atas fasilitas publik di Jakarta perlu segera disikapi. Selain membuat sistem pengawasan, perlu disiapkan wadah ekspresi warga.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
Vandalisme atas fasilitas publik di Jakarta perlu segera disikapi. Selain membuat sistem pengawasan, perlu disiapkan wadah ekspresi warga.
JAKARTA, KOMPAS — Corat-coret yang merusak di fasilitas umum terus terulang. Kejadian terakhir adalah coretan di halte transjakarta di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Pemerintah mengaku kesulitan mengawasi fasilitas publik serta menemukan pelaku karena tidak adanya kamera pemantau (CCTV).
Coretan yang ditemukan Sabtu pekan lalu itu sudah dibersihkan oleh petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) pada Minggu (16/12/2018). Coretan berwana hitam dan putih berupa pola tak beraturan ini membuat halte terlihat kotor dan kumuh.
Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali mengatakan, dirinya menerima laporan adanya coretan dan langsung meminta petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) Setiabudi untuk membersihkannya.
”Awalnya ada laporan adanya coretan itu. (Kami) langsung cari dan tangani,” katanya di Jakarta, kemarin.
Hingga kini, pelaku corat-coret pada halte itu belum diketahui. Tindakan yang termasuk vandalisme atau pengotoran lingkungan ini merupakan pelanggaran Pasal 489 KUHP dengan ancaman hukuman tiga hari.
Menurut Marullah, ia telah mengimbau jajarannya untuk mencegah aksi serupa dan segera membersihkan corat-coret di fasilitas publik. Sesuai tugasnya, petugas PPSU harus berkeliling dan memperbaiki kerusakan di lingkungan kerjanya. ”Kami bagi-bagi tugas, dari kelurahan sampai kecamatan yang punya PPSU, pasukan oranye yang diletakkan di tempat-tempat strategis,” katanya.
Perlu alat pengawas
Namun, kata Marullah, ia kesulitan untuk melacak serta memberi hukuman pelaku karena tidak ada CCTV. Sejauh ini, langkah pencegahan baru dilakukan dengan sebatas imbauan.
Ia mendukung bila disediakan anggaran pengadaan CCTV untuk pengawasan fasilitas publik. ”Para pelaku ini juga tujuannya begitu, tidak ditemukan. Itu jadi kebanggaan tersendiri kalau tidak diketahui,” katanya.
Akhir September, badan kereta MRT yang baru tiba juga jadi korban saat berada di Depo MRT di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke kepolisian. Sampai sekarang, pelaku tak diketahui.
Awal Desember ini, corat-coret juga terjadi pada bus transjakarta bernomor badan MYS-17078. Coretan bertuliskan ”JKT DAY” itu terjadi seusai Persija menang Liga I. Kendati pelaku tak pernah ditemukan karena banyaknya suporter saat itu, klub suporter Persija, The Jakmania, datang membersihkan coretan itu sebagai wujud tanggung jawab. Tindakan ini diapresiasi Gubernur DKI Anies Baswedan.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Agung Wicaksono mengatakan, proses hukum sebenarnya bisa dilakukan terhadap aksi corat-coret itu. Namun, ia mengutamakan pembersihan dan pengawasan bersama-sama.
Sebelumnya, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad S Widhyarto, mengatakan, ada dua fenomena yang bisa dilihat dari aksi pencoretan terhadap fasilitas publik, yaitu terkait kaum muda dan ekspresi diri. Derajad tidak membenarkan segala bentuk vandalisme, tetapi kasus ini tidak bisa dilihat dari kacamata biasa.
”Corat-coret ini tidak bisa dilepaskan dari belum memadainya wadah bagi kaum muda untuk mengekspresikan perasaannya. Jujur saja, Jakarta hanya memfasilitasi kaum dewasa. Sementara kaum muda tidak punya cukup tempat untuk menyalurkan ekspresi mereka,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut dia, fenomena ini mesti mendapat perhatian serius bagi pemerintah. Wadah yang memadai akan mengarahkan kaum muda mengekspresikan diri secara positif. (Yola Sastra)