JAKARTA, KOMPAS — Kiprah 25 tahun Yayasan Kehati di Indonesia telah memberikan manfaat bagi 311.242 jiwa warga yang tinggal di sekitar hutan. Mereka diharapkan mendapatkan manfaat berkelanjutan dari pengelolaan hutan melalui sentuhan program perhutanan sosial, pemanfaatan jasa lingkungan hutan, dan kesatuan pengelolaan hutan.
”Sebagai lembaga pengelola dana yang mengembang amanat konservasi keanekaragaman hayati (kehati) di Indonesia, kami akan terus melaksanakan program konservasi yang mendukung komitmen global dan nasional. Upaya ini untuk mewujudkan alam yang lestari bagi manusia kini dan masa depan anak negeri,” kata Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, Selasa (18/12/2018), di Jakarta.
Berbagai komitmen global dan nasional itu ialah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Kesepakatan Paris Terkait Perubahan Iklim, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), dan pembangunan rendah karbon. Ini diterjemahkan dalam berbagai program di 34 provinsi dan 67 kabupaten.
Saat ini, Yayasan Kehati menjadi pengelola Tropical Forest Conservation Action (TFCA). Program ini mengelola dana pengalihan utang untuk kegiatan lingkungan (debt nature swap) Pemerintah Amerika Serikat-Pemerintah Indonesia.
TFCA memiliki lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Di TFCA Sumatera, bersama mitra lokal, Kehati memperoleh 46 izin perhutanan sosial seluas 128.622 hektar. Di TFCA Kalimantan, Kehati dan mitra lokal memfasilitasi perolehan 211 izin perhutanan sosial seluas 180.314 hektar.
Program konservasi TFCA Sumatera dikerjakan pada 13 bentang alam Sumatera. Isu ancaman belantara setempat meliputi kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk jalan, penambangan ilegal, perambahan hutan, perburuan liar, pembalakan liar, tumpang tindih kawasan, penangkapan ikan destruktif, dan konflik satwa liar-manusia.
Isu ancaman belantara setempat meliputi kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk jalan, penambangan ilegal, perambahan hutan, perburuan liar, pembalakan liar, tumpang tindih kawasan, penangkapan ikan destruktif, dan konflik satwa liar-manusia.
Khusus terkait dengan konflik, TFCA Sumatera mencatat 118 konflik di 41 desa, 12 kabupaten dengan luas area terdampak kerugian mencapai 275,71 hektar pada 2018. Selain dampak terhadap manusia, konflik ini berdampak pada kondisi satwa dilindungi seperti kematian 1 ekor gajah dan 2 ekor macan dahan, evakuasi 16 orangutan, dan relokasi 1 ekor harimau.
Pada TFCA Kalimantan, kegiatan besarnya pada Jantung Kalimantan (Heart of Borneo) yang meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Program di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur ini mencakup konservasi orangutan, bekantan, banteng Borneo, pesut Mahakam, arwana, dan rangkong gading.
Isu beberapa pekan lalu, yakni penangkapan badak sumatera di Kutai Barat, juga dilakukan program ini. Ia ditemukan pada kantong 3 dan badak bernama Pahu itu satu-satunya badak di wilayah itu.
”Kami masih melakukan patroli dan pengamatan di kantong lain. Entah nanti ditangkap atau bagaimana, itu keputusan pengambil kebijakan (pemerintah),” kata Puspa Dewi Liman, Direktur Program TFCA Kalimantan.