JAKARTA, KOMPAS — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, upaya mendorong pertumbuhan ekspor semakin menantang, baik dari jenis komoditas maupun negara tujuan. Tantangan memacu ekspor dipengaruhi faktor eksternal dan kemampuan industri dalam negeri yang belum siginifikan untuk menghasilkan substitusi impor.
”Kita harus melihat berbagai komoditas yang pasarnya sensitif terhadap isu-isu nonekonomi yang jadi penghambat ekspor kita. Sementara pasar-pasar baru dalam kondisi ekonomi sekarang tendensinya melemah jadi kemampuan menyerap ekspor terbatas,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Kinerja perdagangan internasional saat ini dipengaruhi berbagai faktor ekonomi global dan geopolitik. Misalnya, pertumbuhan ekonomi China yang sedang mengalami penyesuaian sekaligus terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan global merosot menjadi 4,18 persen pada 2018 dan 4 persen pada 2019.
Pemerintah juga tetap berhati-hati mengelola neraca pembayaran.
Sri Mulyani mengatakan, selama ini ekspor dipacu melalui peningkatan daya saing melalui berbagai insentif. Namun, insentif yang diberikan kerap terganjal dinamika pasar global yang tak menentu. Di sisi lain, pengendalian impor konsisten dilakukan terutama pada 1.147 barang konsumsi impor.
”Sektor migas dan nonmigas harus memperhatikan kemampuan industri dalam negeri untuk menghasilkan substitusi,” kata Sri Mulyani.
Di tengah kondisi global yang diselimuti ketidakpastian, daya ungkit ekonomi untuk 2019 diupayakan dari konsumsi rumah tangga yang ditargetkan tumbuh 5,1 persen, konsumsi pemerintah 5,4 persen, investasi 7 persen, ekspor 6,3 persen, dan impor 7,1 persen. Ekspor diperkirakan tetap tumbuh kendati masih lebih cepat pertumbuhan impor. (KRN)