JAKARTA, KOMPAS — Peran Komisi Yudisial terancam kian dikerdilkan apabila gugatan hakim ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait dengan seleksi hakim agung dari jalur nonkarier dikabulkan. Sebab, apabila merujuk materi gugatan yang diajukan hakim tinggi Bangka Belitung Binsar Gultom yang diajukan ke PTUN Jakarta, penggugat meminta KY agar hanya memenuhi permintaan seleksi yang diajukan Mahkamah Agung.
Dengan demikian, peran KY jatuh seolah-olah hanya menjadi lembaga perekrut hakim yang sekadar memenuhi permintaan MA. Di sisi lain, sejauh mana analisis kebutuhan MA atas hakim agung itu, apakah sebaiknya hakim dari jalur karier ataupun nonkarier, tidak ada yang mengontrol, selain MA sendiri. Apabila hal ini yang terjadi, kekuasaan kehakiman di Tanah Air semata-mata terpusat di MA, dan minim pengawasan yang berimbang atau check and balances dari lembaga lain di luar MA.
”Mesti dikaji dulu sebenarnya bagaimana analisis kebutuhan hakim agung di MA itu dilakukan, atau dengan cara apa, dan apakah pihak luar dilibatkan untuk mengontrol analisis kebutuhan hakim agung itu. Perlu juga diketahui profil hakim agung atau pimpinan seperti apa yang dibutuhkan MA. Tentunya ini tidak semata-mata soal keahlian dan jumlah hakim agung di kamar mana yang kurang, tetapi juga soal kepemimpinan (leadership) dalam rangka menjalankan reformasi terus-menerus di MA,” kata Bivitri Susanti, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Senin (17/12/2018) di Jakarta.
Pada Senin kemarin, Binsar Gultom hadir bersama kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin, di PTUN Jakarta, untuk membacakan gugatan terhadap KY. Dua keputusan KY digugat, yakni keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Calon Hakim Agung (CHA) Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018, tertanggal 13 September 2018 serta Pengumuman Hasil Seleksi Tahap II (Kualitas) CHA Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.03/10/2018 tertanggal 9 Oktober 2018.
Dua keputusan KY itu dinilai melanggar Pasal 7 Huruf b Butir 3 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA, dan Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Penggugat mendalilkan putusan MK sebagai dasar gugatan karena MK dalam pertimbangan putusannya menyebutkan perekrutan hakim agung oleh KY harus berpedoman pada kebutuhan MA. Terkait perekrutan ini, Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial juga telah mengirimkan surat kepada KY yang isinya meminta delapan hakim agung mengisi posisi yang lowong di MA. Hakim agung diminta berasal dari jalur karier.
Dalam amar putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016, MK menyebutkan ketentuan Pasal 7 Huruf b Butir 3 UU MA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan keahlian di bidang hukum tertentu dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.
Berdampak sistemik
Bivitri mengatakan, tidak bisa diasumsikan semua hakim agung dari jalur karier itu pasti buruk, dan hakim dari jalur nonkarier itu pasti baik. Sebab semuanya sangat bergantung pada bagaimana mekanisme seleksi dijalankan KY. Di sisi lain, KY juga dikritisi karena seleksi yang dijalankannya cenderung seperti pembukaan lamaran pekerjaan.
Gugatan kepada PTUN Jakarta itu bisa berdampak buruk dan sistemik bagi kelembagaan KY karena ruang gerak KY dalam melakukan seleksi semakin dibatasi.
”Di masa depan bisa muncul anggapan KY benar-benar menjadi tukang rekrut hakim berdasarkan permintaan MA. Padahal, MA juga mesti dikritisi analisis kebutuhannya benar ataukah tidak, dan apakah akan lebih diwarnai kepentingan internal mereka memberikan kesempatan posisi hakim agung kepada hakim karier,” kata Bivitri.
Irman mengatakan, gugatan kepada PTUN Jakarta itu dilakukan karena penggugat yang juga pemohon uji materi UU MA ke MK, tahun 2016, memiliki kepentingan agar putusan MK itu ditegakkan. Anggapan bahwa dengan gugatan ini akan membuka jalan bagi MA merekrut hakim agung hanya dari jalur karier, menurut dia, tidak beralasan.
”Pasti MA membutuhkan hakim nonkarier. Buktinya, saat ini MA membutuhkan hakim nonkarier di kamar TUN. Tetapi, saat ini MA membutuhkan hakim karier sehingga seleksinya seharusnya tidak terbuka untuk hakim nonkarier,” kata Irman.
Dalam petitumnya, penggugat meminta hakim agar menghentikan proses seleksi hakim agung tahap berikutnya sampai ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Binsar selaku penggugat adalah peserta seleksi CHA di KY yang gagal dalam seleksi kualitas. Tahun 2016, ia bersama Lilik Mulyadi menjadi pemohon atas uji materi UU MA di MK yang dikabulkan sebagian dalam putusan MK No 53/PUU-XIV/2016.
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus menyerahkan sepenuhnya gugatan itu kepada proses hukum. Pihaknya berpandangan sepanjang ketentuan mengenai perekrutan hakim agung dari jalur nonkarier masih belum dicabut MK, KY akan tetap merekrut hakim agung dari jalur karier maupun nonkarier.