JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat untuk melunasi sebagian utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2019 tanpa mengganggu cadangan devisa. Pasalnya, beban utang luar negeri Indonesia dapat terus bertambah, antara lain karena pelemahan nilai tukar terhadap dollar AS.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri Indonesia pada akhir Oktober 2018 sebesar 360,532 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin (17/12/2018), yakni Rp 14.617 per dollar AS, utang itu setara Rp 5.269 triliun.
Utang itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral 178,335 miliar dollar AS dan utang swasta 182,197 miliar dollar AS. Utang luar negeri per Oktober tumbuh 3,3 persen dalam setahun.
Secara bulanan, posisi utang luar negeri bertambah 700 juta dollar AS dari posisi bulan sebelumnya. Penambahan ini didorong penarikan bersih pinjaman, khususnya pinjaman multilateral dan pembelian bersih Surat Berharga Negara (SBN) domestik oleh investor asing.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardana, mengatakan, pemerintah perlu segera melunasi utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2019. Jika tidak waspada, utang luar negeri semakin membebani kondisi sektor finansial tahun depan, terutama neraca pembayaran.
”Profil utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo pada 2019 mencapai 54 miliar dollar AS (Rp 789 triliun), sebanyak 26 miliar dollar AS (Rp 380 triliun) merupakan utang perusahaan internasional terhadap anak perusahaan,” kata Wisnu.
Menurut Wisnu, posisi utang luar negeri akan sangat memengaruhi likuiditas dan pergerakan nilai tukar rupiah. Apalagi, saat ini neraca pembayaran masih tertekan akibat defisit transaksi berjalan yang semakin dalam. Selain utang telah memasuki masa jatuh tempo, investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) juga diprediksi akan memengaruhi kondisi sektor finansial pada 2019.
Pemerintah, lanjut Wisnu, juga perlu memikirkan strategi pembayaran utang jatuh tempo. Sebab, kebutuhan dollar AS untuk pembayaran utang tidak dapat dipenuhi dengan hanya mengandalkan cadangan devisa.
Cadangan devisa per 30 November 2018 sebesar 117,212 miliar dollar AS.
Peneliti senior Pusat Penelitian Ekonomi Ilmu Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, berpendapat, pemerintah perlu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) untuk memperkecil rasio utang. Saat ini, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB berkisar 34 persen.
Utang untuk investasi, menurut Latif, perlu diutamakan untuk membiayai proyek-proyek yang menghasilkan devisa. ”Kalau utangnya dollar AS, proyeknya harus menghasilkan dollar AS juga. Kalau hasilnya rupiah, itu berpotensi membebani keuangan negara karena ketimpangan nilai tukar,” ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo memastikan, kendati bergerak fluktuatif, utang luar negeri swasta tetap berada dalam pengawasan. Hal itu telah diantisipasi dengan kewajiban perusahaan untuk melakukan lindung nilai, menjaga likuiditas, dan memenuhi peringkat tertentu. (DIM)