Rahasia Hutan
Cinderella, Rapunzel, hingga Gadis Berjubah Merah menitipkan rahasia di sebuah hutan. Rahasia tentang bagaimana mereka meraih keinginan yang terdalam. Rahasia bagaimana akhirnya mereka harus menerima akibat dari cara yang mereka tempuh untuk mencapai keinginan itu.
Berhati-hatilah dengan keinginan. Bisa jadi keinginan itu akhirnya terkabul, tetapi ada konsekuensi yang harus dibayar mahal. Begitu kira-kira pesan dari kisah Into The Woods, musikal yang cerita dan liriknya digarap Stephen Sondheim dan bukunya ditulis oleh James Lapine.
Dipertunjukkan sejak tahun 1986, musikal yang sudah dipentaskan di panggung-panggung Broadway ini juga pernah diangkat ke layar lebar oleh Disney pada tahun 2004 dengan judul yang sama.
Teater Musikal Nusantara (Teman) menggarap ulang kisah dua babak ini dalam tiga kali pertunjukan yang berlangsung di Teater Salihara, Jakarta, Sabtu-Minggu, 22 dan 23 Desember 2018. Dengan nuansa ceria, Into The Woods dibawakan dalam bahasa Inggris. Panggung ditata dengan cerdas.
Properti minimalis dan sederhana tetap mampu menghadirkan suasana yang diinginkan. Sapi direpresentasikan oleh koper putih berkepala sapi yang bisa diseret ke sana kemari dan menimbulkan kelucuan. Sebagai ganti menara tempat tinggal Rapunzel adalah tangga. Lemari kayu bermotif ukiran Jepara dijadikan setting makam ibu Cinderella, dapur di rumah Jack serta Cinderella. Sebagai ganti belati yang dipegang pembuat roti saat membelah perut serigala digunakan keris.
Hal menarik lainnya adalah kostum dari wastra Indonesia, seperti tenun, songket, ikat, lurik, dan batik, yang dikenakan para pemeran. Meski menggunakan kain dan furnitur bergaya Indonesia, penonton tetap dapat menangkap nuansa Eropa sebagai latar cerita. Itu berkat bahasa pengantar dan musik yang dipertahankan tetap seperti aslinya.
”Ini produksi berlisensi. Ada kontrak yang harus kami penuhi kepada Musical Theater International. Jadi, ada yang tidak bisa kami ubah, seperti musik dan nama tokoh. Penambahan skrip harus lewat koordinasi. Namun, dari segi visual dan penyutradaraan, kami bebas berkreasi. Jadi, kami menginterpretasikan budaya Indonesia di beberapa elemen agar menjadi Into The Woods yang beda dari yang lain,” kata Chriskevin Adefrid selaku produser.
Kisah Into The Woods sebenarnya memelintir plot cerita dongeng Cinderella, Rapunzel, Gadis Berjubah Merah (Little Red Riding Hood), hingga Jack dan Pohon Kacang (Jack and The Beanstalk). Sebagai penghubung keempatnya adalah pasangan suami-istri pembuat roti. Keduanya dikutuk tetangga sendiri, seorang penyihir, tidak bisa memiliki keturunan.
Gelap tapi menghibur
Meski kisahnya agak ”gelap” di beberapa bagian, secara umum musikal ini terasa ceria, reflektif, sekaligus menghibur.
Cerita diawali Cinderella (Andrea Miranda) yang berharap dapat hadir di perayaan kerajaan. Jack (Jeremiah Purwoto) yang ingin sapi betina peliharaannya menghasilkan susu. Gadis Berjubah Merah (Claris Tan) yang meminta roti untuk diberikan kepada neneknya dan pasangan pembuat roti (Sugie Phua dan Frances Lee) yang ingin dikaruniai momongan.
Ada pula penyihir (Lea Simanjuntak) yang ingin kembali muda dan cantik, Rapunzel (Claudya Christina) yang ingin melihat dunia, serta pangeran-pangeran yang ingin bertemu gadis-gadis pujaannya, yakni Cinderella dan Rapunzel.
Singkat cerita, pada akhir babak pertama, setelah perjuangan berat yang panjang, setiap tokoh mendapatkan keinginannya. Babak kedua bercerita bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti harapan. Keinginan-keinginan yang diperoleh dengan cara curang dan manipulatif pada akhirnya mendapat ganjaran.
Meski telah kembali muda dan cantik, sang penyihir kehilangan kekuatan sihirnya. Ia juga harus merelakan Rapunzel yang ia rawat sejak kecil, lari dengan pangeran pemujanya. Cinderella harus menelan pil pahit bahwa pangerannya tidak setia. Ia menggoda istri sang pembuat roti saat bertemu di hutan.
Gadis berjubah merah membuat Jack kembali mencuri di rumah raksasa. Kali ini mengambil harpa ajaib. Namun, raksasa yang marah gagal menangkap Jack. Ia justru mati setelah terjatuh dari pohon kacang saat mengejar Jack.
Istrinya menuntut balas dengan membuat kerusakan dan menakuti seluruh warga kerajaan. Kisah berujung tidak terlalu ”happy ending” ini berakhir setelah melalui berbagai cekcok saling menyalahkan, kehilangan orang-orang terkasih, hingga akhirnya berpadu melawan raksasa.
Karya anak bangsa
Teater musikal Into The Woods didukung oleh aktor dan aktris dari Indonesia dan Singapura. Beberapa merupakan hasil pilihan tim produksi, sisanya hasil audisi terbuka. Beberapa dari mereka memerankan beberapa tokoh sekaligus, seperti Putri Andam Kalila yang berperan sebagai ibu kandung dan ibu tiri Cinderella, serta ibu dari Jack.
Marc Valentine memerankan serigala, pangerannya Cinderella, dan Florinda (saudara tiri Cinderella). Aldafi Adnan sebagai pangerannya Rapunzel, Dance Captain, dan Lucinda (saudara tiri Cinderella). ”Bisa dibilang ini produksi anak bangsa karena dari 10 aktor, tujuh orang Indonesia. Tim kreatif kami hampir semua juga orang Indonesia,” kata Criskevin.
Teman didirikan oleh Criskevin, Venytha Yoshiantini, dan Ivan Tangkulung yang sama-sama kuliah di Singapura. Dalam produksi ini, Venytha bertindak sebagai sutradara dan koreografer, sedangkan Ivan sebagai penata musik. Lakon Into The Woods dipilih sebagai debut Teman di Indonesia. Sebab, selain salah satu musikal terkenal di Broadway, tingkat garapannya juga cukup sulit.
”Selain sudah dikenal, ini semacam statement bahwa anak bangsa bisa, lho, bikin musikal Broadway resmi berlisensi dengan standar internasional,” kata Criskevin.
Criskevin tidak berlebihan. Penonton tampak puas setelah menyaksikan pertunjukan. Semua tiket untuk tiga kali penampilan terjual habis. Para aktor dan aktris pun mengaku mendapat pengalaman berharga dalam produksi ini.
”Anak-anak muda ini enggak tahu muncul dari mana. Saya enggak kenal sebelumnya. Tapi, mereka keren, kerjanya sistematis dan efektif. Total saya persiapan hanya 1,5 bulan,” ungkap Lea Simanjuntak yang diminta menjadi penyihir.
Peran ini, diakui Lea, cukup menantang karena ia harus bernyanyi jauh di bawah jangkauan suaranya. Jika biasanya Lea bernyanyi pada area sopran, di sini ia harus bernyanyi di tingkat mezosopran, bahkan alto dengan suara penuh. Saat berperan, posisi kakinya harus sedikit ditekuk agar tubuhnya membungkuk. ”Semoga semakin banyak Teman-Teman lainnya,” kata Lea.
Kehadiran Teman, menurut Criskevin, juga bertujuan memancing kemunculan teater musikal lainnya di Tanah Air. Ia bermimpi suatu saat Indonesia bisa dikenal dengan banyaknya teater musikal yang menghasilkan produksi berkualitas..