PEKANBARU, KOMPAS - Program restorasi lahan gambut rusak akibat kebakaran lahan dan hutan di wilayah Provinsi Riau oleh Badan Restorasi Gambut berjalan lamban. Hingga akhir 2018, luas restorasi lahan gambut BRG baru 74.500 hektar atau 9,1 persen dari target 814.000 hektar sejak dicanangkan pemerintah tahun 2016.
“Pertengahan 2018, kami menganalisis program restorasi BRG di Riau. Kesimpulan kami, kinerja BRG tidak menunjukkan percepatan pemulihan dan pengembalian hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. Kawasan gambut yang semestinya jadi prioritas restorasi kembali muncul titik panas,” ujar Aldo Arfian Sagita, Staf Kampanye dan Advokasi Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) di Pekanbaru, Rabu (2/1/2019).
Hitungan Jikalahari, luas restorasi gambut Riau 27.000 hektar atau 3 persen. Namun, BRG merevisi luas lahan restorasi 9 persen di 29 desa.
Meskipun angka BRG di atas hitungan Jikalahari, kata Aldo, target restorasi gambut Riau, sebagaimana amanat Peraturan Presiden No 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut, sampai 2018, semestinya sudah 490.000 ha. Angka itu 60 persen dari rencana restorasi total seluas 814.000 ha.
“Amanat Perpres No 1/2016 tentang BRG memberikan tenggat, restorasi harus selesai tahun 2020. Apakah target restorasi gambut di Riau dapat terlaksana?" tanya Aldo.
Tahun 2018, Riau kebakaran lahan dan hutan seluas 5.776 hektar.
Jikalahari merekomendasikan agar Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja BRG. Jikalahari juga meminta presiden mensupervisi korporasi untuk merestorasi areal terbakar.
“Hasil investigasi kami, ada enam perusahaan menanam kembali di areal bekas terbakar. Umur sawit dan akasia lebih satu tahun. Data Jikalahari sampai Agustus 2018, terdapat 963 titik panas di area prioritas BRG,” ujar Aldo.
Secara terpisah, Deputi III BRG Myrna A Safitri dihubungi Kamis (3/1/2019) mengakui progres restorasi lahan gambut Riau lamban. Sebanyak 87 persen areal yang mesti direstorasi ada di areal konsesi pemegang izin pemanfaatan hutan (perusahaan HTI) dan hak guna usaha (perkebunan).
“Tanggung jawab restorasi di areal konsesi ada pada pemegang konsesi. BRG menjalankan fungsi supervisi atau asistensi teknis. BRG merestorasi di luar konsesi. Sampai 2018, BRG sudah merestorasi 77,4 ribu hektar dari total areal 109,5 ribu hektar atau 71 persen. Total rencana restorasi di Riau mencapai 836 ribu hektar, bukan 814 ribu hektar (seperti data Jikalahari),” kata Myrna.
Faktor keterlambatan
Keterlambatan restorasi di areal konsesi, tambah Myrna, disebabkan pedoman pelaksanaan masih disiapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Meski demikian, BRG sudah uji coba sebelum pedoman KLHK itu keluar.
“Kami uji coba di Jambi dan Kalimantan Barat seluas 152 ribu hektar. Untuk Riau masih tahap persiapan dan kami supervisi tahun ini,” kata Myrna.
Meski tersisa dua tahun, hingga 2020, Myrna optimis seluruh areal target restorasi dapat terlaksana. BRG juga bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perkebunan untuk supervisi kebun di atas gambut.
Tahun 2018, Riau kebakaran lahan dan hutan seluas 5.776 ha. Hanya saja, Myrna belum tahu lahan yang terbakar termasuk dalam prioritas restorasi BRG.
”Saya harus cek dulu. Tolong bantu ke publik bahwa restorasi gambut perlu waktu lama untuk bisa mengembalikan kelembaban gambut. Apalagi jika lahan gambut sudah sangat kering dengan air di bawah tanah sudah puluhan meter," kata dia.
Penyekatan, penimbunan kanal setahun hanya menaikkan air beberapa sentimeter. Jadi, tak ada jaminan dengan sekat kanal, wilayah itu tidak akan terbakar. "Kebakaran lahan gambut itu resultan banyak faktor. Restorasi salah satu upaya pencegahan,” kata Myrna.
Rokan Hilir terburuk
Koordinator Jikalahari Made Ali mengungkapkan, pada akhir tahun 2018, pihaknya telah mengeluarkan catatan peringkat terbaik dan terburuk bagi kabupaten dan kota di Riau dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup dan kehutanan di daerahnya. Dari hasil kajian, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah yang terburuk dan Kabupaten Siak sebagai yang terbaik.
“Selama 2018, kebakaran lahan di Rokan Hilir sangat masif. Data BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau) menyebutkan luas kebakaran hampir mencapai 2.000 hektar atau sekitar 35 persen dari total luas kebakaran se-Riau. Selain itu, pemerintah daerahnya lamban merespon kebakaran,” kata Made.
Secara terpisah, Azhar Achmad, mantan Kepala BPBD Rokan Hilir menyebutkan, berdasarkan pengalamannya selama menjabat, penanganan kebakaran lahan dan hutan di daerahnya memang sangat sulit. Secara umum, hampir seluruh lahan yang terbakar merupakan hamparan luas areal gambut yang kering.
“Selain itu, seringkali kami menerima informasi kebakaran yang terlambat. Biasanya, di lokasi yang terbakar tidak ada manusianya, meski disana terdapat kebun warga. Sehingga api selalu sudah membesar ketika diketahui. Memadamkan api besar di lahan gambut adalah pekerjaan yang sangat berat,” kata Azhar.