Benahi Tata Kelola agar Lebih Transparan dan Terjangkau
Semakin jauh jarak antara RS dan pemusnah itu artinya semakin bahaya. Ada kemungkinan bocor di jalan dan akhirnya berbahaya untuk lingkungan, jika tidak diolah sesuai dengan regulasi.
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola pengolahan limbah medis perlu dibenahi untuk mengendalikan kebocoran dan penimbunan limbah medis, seperti di Cirebon. Penegakan hukum pun harus dilaksanakan dengan tegas.
Pembenahan tata kelola pengolahan limbah medis perlu dimulai dengan membuka data sisa kapasitas perusahaan pengolah limbah medis. Hingga kini fasilitas pelayanan kesehatan sebagai penghasil limbah medis masih kesulitan untuk menjangkau data terkait sisa kapasitas produksi yang dimiliki setiap pengolah limbah medis.
Selain itu, jumlah pengolah limbah medis perlu ditambah lebih banyak dengan jarak tempuh lebih terjangkau dari rumah sakit ataupun klinik dan puskesmas. Bukan sebaliknya, yang terjadi sekarang ini, hanya tersedia 12 pengolah limbah medis untuk lebih dari 2.781 rumah sakit di seluruh Indonesia.
Baca juga: Ancaman Limbah Medis di Sekitar Kita
Hingga 2018, hanya tersedia 6 pengolah limbah medis dengan total kemampuan mengolah limbah 120,48 ton per hari. Baru pada 2019, setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali menerbitkan izin pengolahan limbah medis, tersedia 12 pengolah limbah medis dengan total kapasitas 301,7 ton. Penambahan itu pun tampaknya hanya untuk memperbesar kapasitas pengolahan limbah sehingga dapat seimbang dengan jumlah timbulan limbah medis yang mencapai 300-340 ton per hari dari 2.781 rumah sakit. Sementara hanya ada 63 rumah sakit yang memiliki insinerator.
Penyebaran pengolah limbah medis ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dari 12 perusahaan yang ada, 8 perusahaan terkonsentrasi di Pulau Jawa, yakni Cilegon, Bogor, Bekasi, 2 perusahaan di Karawang, Sukoharjo, dan Mojokerto. Selebihnya, 4 perusahaan lainnya tersebar di Kutai, Balikpapan, Batam, dan Makassar.
Dalam kondisi pengolah limbah medis yang terbatas, pada 2018 beberapa rumah sakit tak terlayani pengangkutan limbah medisnya. Seperti yang dialami Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati dan Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung.
Kedua rumah sakit itu pada mulanya enggan menyebutkan perusahaan pengolah limbah medis yang tak memenuhi kewajibannya. Namun, dari informasi Lelang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), diketahui kedua rumah sakit itu pada periode 2017-2018 menjalin kontrak dengan PT Tenang Jaya Sejahtera.
Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Hasan Sadikin (RSHS) Maudy Dirgahayu Hussein menyampaikan, limbah medis di RSHS pada 2018 sempat mengalami penumpukan karena pihak pengolah limbah tidak juga mengangkutnya. ”Salah satu perusahaan (pengolah limbah medis) kena wan-prestasi dari kami karena limbah kami tidak diangkut-angkut,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Utama RSUP Fatmawati Mochamad Syafak Hanung pun menyampaikan, pihaknya sampai panik karena pengolah limbah medis yang berkontrak tidak memenuhi kewajiban untuk mengangkut limbah medis dari rumah sakit di Jakarta Selatan ini. Sejak itu, pihaknya sangat berhati-hati dalam menentukan pengolah limbah medis.
”Sekarang kami harus memastikan, apakah benar penyedia jasa (pengolah limbah medis) itu benar-benar taat regulasi,” ucapnya.
Keduanya pun menduga pengolah limbah medis tersebut menyerap limbah medis terlampau banyak dibandingkan dengan kapasitas. Akibatnya, limbah medis pada rumah sakit yang sudah berkontrak tidak terlayani. ”Sepertinya pengolah limbah ini kebanyakan menerima pekerjaan,” ucap Maudy.
Baca juga: Bahaya Limbah Medis B3 bagi Manusia
Di laman situs Inaproc, portal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pun ditemukan dua daftar hitam terkait PT Tenang Jaya Sejahtera. Dalam dua daftar itu disebutkan, PT Tenang Jaya Sejahtera dikenai sanksi selama 26 Juni 2018-26 Juni 2019, 8 Juni 2018-8 Juni 2019. Sanksi itu berupa tidak diperbolehkan mengikuti lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah selama periode tersebut.
Saat dikonfirmasi, juru bicara PT Tenang Jaya Sejahtera, Oland PH Sibarani, membenarkan adanya sanksi dari LKPP tersebut. Menurut dia, saat itu pihak manajemen menaikkan harga pengolahan seiring dengan kenaikan biaya operasional dan produksi. Sementara pihak penghasil limbah medis keberatan dengan harga yang ditawarkan dan tetap meminta pengangkutan sesuai dengan kontrak sebelumnya. Namun, Oland tak merinci kenaikan harga itu.
”Akibatnya, kami tidak bisa melaksanakan pekerjaan itu,” jelasnya.
Sementara itu, dari dokumen putusan Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, Nomor 109 Pid.B/LH/2019/PN Sbr terkait perkara salah satu pelaku pengolah dan penimbunan limbah medis di Desa Panguragan Kulon, Kabupaten Cirebon, diperoleh fakta persidangan terkait biaya pengolahan tersebut.
Disebutkan, selama 2017-2018 nilai kontrak pengolahan limbah medis RS Hasan Sadikin dengan PT Tenang Jaya Sejahtera untuk mengangkut 312 ton limbah medis sebesar Rp 1,6 miliar dan nilai kerja borongan menjadi Rp 1,8 miliar. Dengan demikian, biaya pengolahan borongan per kilogram berkisar Rp 5.700.
Sementara itu, dalam putusan tersebut juga diperoleh fakta persidangan bahwa PMI DKI Jakarta selama 2017-2018 juga berkontrak dengan PT Tenang Jaya Sejahtera untuk mengolah limbah medisnya. Nilai kontrak pengolahan limbah itu disebutkan Rp 6.000 per kg, tetapi menjelang 2018 harganya naik menjadi Rp 20.000 per kg.
Ketika kembali dikonfirmasi, Oland membantah kenaikannya menjadi Rp 20.000 per kg. Ia hanya mengatakan tidak benar. Namun, saat diwawancara beberapa hari sebelumnya, OIand mengaku tarif pengolahan limbah medis PT Tenang Jaya Sejahtera itu sebesar Rp 8.000 per kilogram.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia Lia G Partakusuma mengungkapkan, memang hingga kini pihak rumah sakit masih kesulitan untuk menjangkau informasi terkait sisa kapasitas dari pengolah limbah medis setiap tahunnya. Walaupun hingga 2018 hanya tersedia 6 pengolah limbah medis berizin, pihaknya masih sulit memperoleh data itu.
Ia pun mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo juga telah meminta Persi untuk membuat solusi penanganan limbah medis. Namun, pihaknya belum bisa merealisasikan itu karena masih kesulitan memperolah data terkait penyerapan limbah medis dan kapasitas dari setiap pengolah limbah medis berizin.
”Kendalanya, ya, itu, bagaimana mengambil datanya. Kalau pakai logika saja, kan, tidak mungkin limbah sebanyak ini, kok, yang mengolah cuma segini (sedikit),” jelasnya.
Akibat jumlah pengolah limbah medis yang terbatas, Lia juga mengungkapkan, bahwa sejumlah rumah sakit yang berkontrak dengan PT Jasa Medivest selama awal-pertengahan 2018, juga sempat kewalahan mengolah limbah medisnya. Lantaran perusahaan pengolah limbah itu dikenakan sanksi oleh Kementerian LHK karena menimbun limbah medis dalam jumlah banyak.
”Kami sampai mengirim surat ke Kementerian LHK agar sanksi itu dicabut supaya PT Jasa Medivest bisa mengangkut limbah kami,” ucapnya.
Lia pun mengingatkan, di Pulau Jawa dengan jumlah pengolah limbah medis paling banyak dibandingkan dengan pulau lain, sudah menghadapi permasalahan limbah medis yang cukup pelik.
”Coba bayangkan bagaimana yang di Indonesia timur, seperti Papua. Dibuang ke mana limbahnya kalau pengolah limbahnya saja jauh (terkonsentrasi di Jawa). Jangan-jangan ada yang dibuang ke laut,” tuturnya.
Hingga kini, sisa kapasitas pengolahan limbah itu masih belum bisa dilihat di sistem lelang elektronik LPSE. Kepala Subbagian Humas LKPP Andy Martanto mengatakan, terkait sisa kapasitas produksi itu baru sebatas dideklarasikan oleh peserta lelang setiap kali mereka ikut dalam lelang pengadaan barang/jasa. Sebab, data terkait sisa kapasitas atau sisa kemampuan nyata itu belum terintegrasi ke dalam sistem lelang elektronik.
”Kami belum bisa melihat. Misalkan, si penyedia (jasa) di tahun yang sama sudah mengerjakan 10 paket, padahal kemampuannya dia cuma 11 paket. Itu yang kita belum bisa melihat. Sementara kalau penyedia hanya mendeklarasikan, kan, verifikasi dan klarifikasinya susah. Misalkan si penyedia itu menyatakan sedang mengerjakan 3 paket, padahal riilnya sudah mengerjakan 7 paket. Itu yang secara sistem belum bisa terpantau secara otomatis,” jelasnya.
Baca juga: Kebocoran Limbah Medis Diduga Modus Kurangi Biaya Pengolahan
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung menyampaikan, terkait masalah limbah medis ini memang harus dimulai dengan membenahi neraca massa terkait jumlah limbah yang dihasilkan hingga dimusnahkan. Dari hasil pemantauan Walhi, ada banyak neraca massa terkait pengolahan limbah medis ini yang tidak cocok antara limbah yang diterima dan yang dimusnahkan.
”Seharusnya antara penghasil (limbah), pengangkut, dan pengolah limbah, itu kan seharusnya seimbang jumlah limbah yang dihasilkan sampai diangkut dan dimusnahkan. Namun, kenyataannya ini tidak demikian,” katanya.
Sedikit berkontrak
Dengan jumlah pengolah limbah medis yang terbatas dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, ditemukan paket lelang pengolahan limbah medis yang diajukan di LPSE itu pun sangat sedikit. Padahal, di Indonesia ada 1.572 rumah sakit pemerintah.
Hasil penyisiran Litbang Kompas menunjukkan, pada 2017 hanya muncul 18 paket lelang pengolahan limbah medis yang mencapai tahap pemenangan, dan pada 2018 sebanyak 24 paket lelang. Selama Januari-November 2019, tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, hanya 20 paket lelang.
Adapun hasil penyisiran yang dilakukan LKPP, dari semua pengolah limbah medis berizin itu hanya beberapa yang menang. Selama 2017-2018, hanya 3 dari 6 pengolah limbah medis berizin yang menang lelang, yakni PT Arah Environmental Indonesia, PT Jasa Medivest, dan PT Tenang Jaya Sejahtera.
Baca juga: Menambal Lubang Pengelolaan Limbah Medis
Paket lelang itu pun tak semuanya dimenangi oleh pengolah limbah medis berizin, ada pula yang dimenangi oleh perusahaan lain, seperti PT Berkah Cendikia Lestari. Berdasarkan pengumuman lelang, perusahaan itu dicatat sebagai pengangkut dan pemusnah limbah medis. Sementara di informasi lelang ini tak disebutkan pengolah limbah medis tempat PT Berkah Cendikia Lestari akan memusnahkan limbah yang diangkutnya.
Sekretaris PT Jasa Medivest, Manti Afiandi, menyampaikan, pihaknya tak sepakat jika semua pengolah limbah medis dianggap bersikap tertutup terkait sisa kapasitas produksi. Ia menyatakan, sebaliknya PT Jasa Medivest sebagai salah satu pengolah limbah medis selalu bersikap terbuka terkait sisa kapasitas produksi yang dimiliki kepada setiap fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang dilayani.
”Kami selalu bersikap terbuka kepada setiap fasyankes. Tidak ada yang kami tutupi. Kami tunjukkan cara kerja kami,” jelasnya.
Menurut Manti, pada 2018 PT Jasa Medivest dikenai sanksi oleh Kementerian LHK karena saat itu pihaknya menghadapi kendala untuk mengolah limbah medis sehingga terjadi penimbunan. Saat itu, PT Jasa Medivest tengah menjalani pengujian kualitas udara yang dilakukan secara berkala, utamanya untuk pengujian zat berbahaya, seperti dioksin. Pengujian itu memakan waktu yang lama dan pengujiannya hanya tersedia di Kanada, Jerman, dan Australia. Sementara pelayanan pengangkutan limbah medis di rumah sakit harus terus dijalankan.
”Di laboratoriumnya agak lumayan lama. Kami sadar itu memang lama. Sedangkan kami terus menjalankan kewajiban kami untuk angkut limbah (sehingga dikenai sanksi karena menimbun),” jelasnya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.56 Tahun 2015 tentang tata cara dan persyaratan teknis pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dari fasilitas pelayanan kesehatan, limbah medis hanya dapat ditimbun tak lebih dari dua hari.
Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Emil Budianto menyampaikan, pemerintah perlu terus menambah jumlah pengolah limbah medis berizin. Jika jumlahnya terbatas seperti sekarang, dengan sendirinya menyebabkan pelayanan pengolahan limbah medis menjadi tidak kompetitif.
”Ya, kalau pemainnya enggak banyak, akhirnya kurang (kompetitif),” jelasnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali pun menyampaikan, melihat Indonesia sebagai negara kepulauan, maka dibutuhkan sebaran pengolah limbah medis yang merata agar mudah dijangkau.
Imran mengaku, pihaknya telah memberikan saran kepada Kementerian LHK agar pengolahan limbah medis dibangun dengan berbasis wilayah. Sistem pengolahan limbah medis berbasis wilayah ini dapat menyediakan pengolahan limbah medis secara merata di setiap daerah.
Dengan demikian, rantai pengolahan limbah medis dapat dipotong dan dipersingkat. Dengan jarak yang pendek, sistem ini dapat meningkatkan efisiensi anggaran rumah sakit untuk pengadaan jasa pemusnahan.
Berdasarkan data yang dimiliki Imran, rumah sakit di luar Pulau Jawa harus menghadapi biaya pemusnahan limbah yang jauh lebih tinggi. Apabila rumah sakit di Pulau Jawa mendapatkan harga satuan per kilogram limbah medis sebesar Rp 8.000-Rp 10.000, rumah sakit di luar Jawa harus mengeluarkan biaya hingga Rp 100.000 per kilogram karena jarak yang jauh ke lokasi instalasi pemusnah yang sebagian besar berada di Pulau Jawa.
Imran juga berpendapat, sistem berbasis wilayah juga akan mengurangi risiko kebocoran limbah medis kepada pihak-pihak yang tidak semestinya. ”Semakin jauh jarak antara RS dan pemusnah itu artinya semakin bahaya. Bocor di jalan dan akhirnya berbahaya untuk lingkungan, apabila tidak diolah sesuai regulasi,” katanya.
Berdasarkan data Persi, selain limbah medis dari rumah sakit, juga ada limbah medis dari klinik dan puskesmas yang belum terkelola dengan baik. Hingga kini setidaknya ada 9.000 puskesmas dan 7.000 klinik.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 Kementerian LHK Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, pihaknya telah berupaya untuk mengendalikan limbah medis agar tak mudah bocor dengan mengubah manifes manual menjadi manifes elektronik (Festronik). Jumlah pengangkutan dan pemusnahan limbah medis yang selama ini dilaporkan dalam bentuk manifes manual menjadi elektronik.
Ditjen PSLB3, lanjutnya, juga melaksanakan pengawasan terhadap fasyankes hingga pengolah limbah medis. Diharapkan, pemerintah daerah juga dapat berpartisipasi untuk mengawasi. ”Apabila dipandang perlu, setiap institusi yang berotoritas dapat melakukan kegiatan pengawasan untuk penertiban pengelola limbah medis, termasuk unit kerja penegakan hukum Kementerian LHK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Vivien menyampaikan, pihaknya mendukung konsep pengelolaan limbah medis per regional (proximity approach) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Sejalan dengan konsep regional tersebut, maka secara konkret Kementerian LHK telah membangun satu fasilitas insinerator limbah medis yang saat ini telah beroperasi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Selanjutnya, untuk 2020-2024, Kementerian LHK akan melakukan pembangunan fasilitas insinerator limbah medis di setiap provinsi di Indonesia dengan prioritas di luar Pulau Jawa.