Toleransi Jadi Aspek Baru Penguatan Peran Keluarga
›
Toleransi Jadi Aspek Baru...
Iklan
Toleransi Jadi Aspek Baru Penguatan Peran Keluarga
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI akan memasukkan dimensi toleransi dalam penguatan peran keluarga. Toleransi dinilai penting untuk melengkapi dimensi kesehatan dan kesejahteraan keluarga yang selama ini diusung oleh PKBI.
Sebelumnya, ada lima dimensi yang menjadi acuan PKBI dalam membangun keluarga sejahtera di Indonesia. Kelima dimensi itu adalah kelahiran, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan masa depan. Kelimanya diwujudkan dalam beragam upaya, salah satunya program Keluarga Berencana (KB).
Ketua Pengurus Nasional PKBI Ichsan Malik mengatakan, ada fenomena baru di masyarakat berupa keluarga intoleran. Hal ini dinilai dapat menghambat pembangunan keluarga sejahtera dan sehat.
“Misalnya kasus bom bunuh diri oleh satu keluarga di Surabaya pada 2018. Keluarga itu sejahtera, terdidik, dan sehat. Namun, mereka bunuh diri karena radikalisme dalam keluarga. Fenomena intoleransi ini menghancurkan lima dimensi keluarga yang sudah ada,” kata Ichsan di Jakarta, Rabu (16/1/2019) pada acara HUT ke-61 PKBI.
Menurut Ichsan, fenomena ini harus dihadapi dan tidak bisa diabaikan. Toleransi dipandang sebagai salah satu kunci untuk menyempurnakan dimensi kesehatan, yaitu pada aspek kesehatan sosial dan psikologis. Akhirnya, aspek toleransi juga akan menyokong keluarga agar sejahtera.
Ichsan mengatakan, dimensi toleransi akan dikaji lebih lanjut sebelum dimasukkan dalam Perencanaan Strategis PKBI 2021-2030. Sejumlah indikator dimensi ini akan dipelajari agar bisa diterapkan pada program-program PKBI.
Saat dihubungi terpisah, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Yani mendukung langkah yang dilakukan PKBI. Menurutnya, toleransi penting ditanamkan kepada semua anggota keluarga sejak dini.
“Toleransi itu erat kaitannya pada perkembangan psikologis pada anak. Toleransi akan mengajarkan anak untuk punya rasa empati terhadap lingkungan sekitarnya,” kata Yani.
Yani mengatakan, toleransi dan empati menjadi modal seseorang untuk bersosialisasi dan hidup bernegara. Terlebih, ketika anak tumbuh dewasa, mereka akan bersosialisasi dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Program Manager untuk Program Peduli PKBI Yudi Supriadi menambahkan, kesejahteraan masyarakat dan individu bermula dari peran serta keluarga. “Basis apa pun yang ingin dicapai harus berawal dari keluarga,” kata Yudi.
Keluarga bertanggung jawab
Pada 2019, program-program PKBI akan mengacu pada gerakan keluarga toleran dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, masyarakat didorong agar bertanggung jawab dalam membangun keluarga, seperti menyiapkan kesejahteraan anak di masa depan. Namun, masih ada masyarakat yang mengabaikan kesejahteraan anak dengan pernikahan yang tidak direncanakan dengan matang.
Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013 dan 2015, persentase perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, yang menikah sebelum usia 18 tahun, masih berkisar di angka 20 persen. Pada 2013, persentasenya adalah 24,17 persen dan pada 2015 menjadi 22,82 persen.
Walaupun angkanya menurun, pernikahan usia dini tetap tidak dianjurkan. Sebab, ada aspek-aspek yang harus dipersiapkan sebelum menikah dan memiliki anak, seperti kesiapan mental, keuangan, dan kesehatan fisik. Semua persiapan itu pada akhirnya berpengaruh pada perencanaan kesejahteraan anak di masa mendatang.
“Memiliki anak dalam suatu pernikahan itu tidak sederhana. Ada banyak hal yang harus disiapkan agar anak sejahtera. Di situlah peran keluarga yang bertanggung jawab,” kata Ichsan.
Pernikahan dini juga berisiko pada kematian ibu, baik pada masa kehamilan, maupun setelah melahirkan. Angka kematian ibu juga menjadi salah satu indikator kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Menurut data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu pada 2012 adalah 359 kasus. Angka ini meningkat bila dibandingkan dengan data pada 2007, yaitu 228 kasus. Angka kematian ibu bisa terjadi karena beberapa hal, salah satunya kurangnya kesiapan fisik ibu saat hamil atau melahirkan. Persiapan dini dinilai dapat menaikkan risiko kematian ibu.