Mencari Penanganan Disinformasi
Di sejumlah negara, upaya untuk mengatasi disinformasi sudah dilakukan, mulai dari pendekatan hukum, pemberian sanksi, sensor, hingga literasi. Di antara berbagai upaya itu, literasi jangka panjang paling ideal.
Penyebaran disinformasi dan misinformasi, yang oleh sebagian orang disebut sebagai hoaks, sudah menjadi gangguan serius dalam kehidupan bermasyarakat di banyak negara. Sejumlah pendekatan sudah dilakukan untuk menghadapinya sekalipun belum ada yang memberikan jawaban ideal.
Parlemen Perancis, misalnya, seperti diberitakan laman euronews.com (22/11/2018), mengesahkan undang-undang yang memungkinkan hakim memerintahkan penghapusan ”berita palsu (fake news)” sesegera mungkin dalam rentang masa kampanye. Presiden Perancis Emmanuel Macron menyusun undang-undang tersebut. Kendati dua kali ditolak senat, undang-undang itu akhirnya disahkan.
Hal ini disebutkan sebagai upaya pertama yang dilakukan pemerintah di Eropa Barat untuk melarang keberadaan materi informasi palsu. Hanya saja, undang-undang semacam itu disebutkan oleh para kritikus dapat membahayakan demokrasi dan bisa menyensor praktik pers.
Sementara Inggris dan Ceko, sebagaimana dikutip dari theatlantic.com (24/2/2018), berkonsentrasi pada pembentukan gugus tugas pemerintah alih-alih melakukan perubahan hukum. Gugus tugas ini langsung menghadapi konten disinformasi ketimbang menghukum penyebarnya.
Pada Januari 2018, Komisi Eropa membentuk kelompok pakar (high-level group of experts) yang bertugas memberi saran mengenai inisiatif kebijakan guna melawan fake news dan disinformasi yang menyebar secara daring. Hasil utama kelompok pakar, sebagaimana dikutip dari laman ec.europa.eu pada Sabtu malam, adalah laporan yang disiapkan guna meninjau praktik-praktik terbaik menghadapi disinformasi. Kelompok pakar tersebut merekomendasikan agar menghindari segala bentuk penyensoran. Respons jangka panjang yang direkomendasikan ialah meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap disinformasi.
Dari laman tersebut juga disebutkan lima pilar yang mendasari respons, yakni meningkatkan transparansi berita daring, mempromosikan literasi informasi dan media, mengembangkan perangkat untuk memberdayakan pengguna dan wartawan untuk mengatasi disinformasi dan mendorong keterlibatan positif, serta mempromosikan penelitian lanjutan mengenai dampak disinformasi di Eropa.
Terminologi berita palsu
Terminologi fake news atau berita palsu sesungguhnya tidak tepat lagi digunakan untuk merujuk keberadaan informasi palsu atau kabar bohong. UNESCO Series in Journalism Education dalam buku berjudul Journalism, ’Fake News’ & Disinformation menyebutkan bahwa berita merupakan informasi terverifikasi tentang kepentingan publik.
Seperti dikutip dari buku tersebut, informasi yang tidak memenuhi standar tidak layak diberi predikat sebagai berita. Istilah berita palsu dapat dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan yang dilekatkan menjadi satu dan merongrong kredibilitas berita.
Daniel Funke dalam artikel berjudul ”A Guide to Anti-Misinformation Actions Around the World” di laman poynter.org yang dipublikasikan pada 8 Januari 2019 menuliskan tentang sejumlah upaya yang dilakukan negara-negara di dunia untuk mengatasi gelontoran informasi palsu. Hal ini untuk menggambarkan bahwa upaya untuk mengatasi fenomena tersebut bukan hanya dilakukan di Eropa, melainkan juga sebagian negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam laporan yang diperbarui secara berkala, setelah diterbitkan pada 14 Maret 2018, terdapat upaya yang dilakukan di 38 negara. Brasil, misalnya, bertindak dengan membentuk gugus tugas pemerintah, rancangan undang-undang, dan kesepakatan dengan sejumlah platform. Unit aplikasinya ada di tingkat nasional dengan fokus pada misinformasi pemilu dengan orientasi pemberian sanksi. Sementara China menggunakan pendekatan hukum melalui portal pelaporan daring di tingkat nasional yang fokus mengatasi misinformasi dengan orientasi sanksi.
Kematian pakar
Mengatasi persoalan disinformasi perlu juga memperhatikan kondisi yang membuat fenomena itu berkembang.
Mantan Direktur FBI James Comey yang dipecat Donald Trump dalam buku berjudul A Higher Loyalty: Truth, Lies, and Leadership (2018) menceritakan tentang lingkungan politik terkini di mana fakta-fakta mendasar diperdebatkan, kebenaran mendasar dipertanyakan, berbohong dianggap normal, dan perilaku tidak etis diabaikan, dimaafkan, atau dihargai.
Comey menyebutkan, hal tersebut tak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di institusi-institusi di seluruh dunia. Di ruang rapat perusahaan-perusahaan besar, kantor-kantor berita, kampus-kampus universitas, industri hiburan, serta olahraga profesional.
Tom Nichols (2017) dalam buku "The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters" menyebutkan perubahan kebiasaan merujuk pada pakar tertentu terkait bidang tertentu di masa lalu, kini beralih ke peramban internet.
”Mengapa harus bergantung pada orang yang lebih berpendidikan dan berpengalaman dibandingkan Anda, dan lebih buruk lagi harus membuat janji dengan mereka, ketika Anda dapat secara mandiri memperoleh informasi tersebut?” tulis Nichols.
Pengamat media Irendra Radjawali mengatakan, upaya penanggulangan hoaks tidak bisa semata-mata dilakukan dengan perspektif teknologi. Irendra menggarisbawahi pentingnya penumbuhkembangan kemampuan untuk menganalisis limpahan data menjadi informasi, lalu mengubahnya menjadi pengetahuan, lantas diolah sebagai penilikan, sebelum akhirnya menjadi kebijaksanaan.
Tanpa itu, sulit menghadapi disinformasi.