Dewi Indriastuti dari Washington DC, Amerika Serikat
·3 menit baca
WASHINGTON DC, KOMPAS - Ekspor akan digenjot tahun ini untuk memperbaiki neraca perdagangan yang defisit sepanjang 2018. Misi dagang dan forum bisnis akan digalakkan untuk mendorong peningkatan ekspor Indonesia ke berbagai negara.
Pilihan menggenjot ekspor diambil karena Kementerian Perdagangan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan impor. Dari total impor dalam perdagangan RI, sekitar 35 persen di antaranya di tangan Kemendag. Selain itu, sebagian besar impor yang berupa barang modal dan bahan baku digunakan untuk pembangunan dan investasi.
"Langkah yang juga harus dilakukan dalam satu tahun ini adalah menyelesaikan berbagai perjanjian terkait akses pasar. Kalau tidak diselesaikan, perdagangan kita akan semakin tertinggal dari negara-negara lain," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sela-sela acara misi dagang Kementerian Perdagangan di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (15/1/2019) waktu setempat.
Ia mengakui, sejumlah perjanjian masih harus dibahas dan diselesaikan secepatnya. Dengan kondisi yang kian mendesak, maka ada sejumlah perjanjian dagang yang mesti diselesaikan secara bilateral, bukan lagi multilateral.
Neraca perdagangan RI defisit 8,566 miliar dollar AS pada 2018. Kondisi ini berbalik dari surplus 11,842 miliar dollar AS pada 2017. Sepanjang tahun lalu, sektor migas defisit 12,403 miliar dollar AS, sedangkan sektor nonmigas surplus 3,837 miliar dollar AS.
Sektor migas defisit setiap bulan pada 2018. Meski demikian, defisit sektor migas pada Desember 2018 merupakan yang terendah, yaki 218,8 miliar dollar AS. Sebaliknya, kinerja sektor nonmigas pada Desember 2018 merupakan yang terburuk sepanjang tahun lalu, dengan defisit 883,2 miliar dollar AS.
Lebih lanjut Enggartiasto menyampaikan, upaya menggenjot ekspor akan berhadapan dengan kondisi perekonomian global yang tidak menentu. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2019 yang tidak setinggi 2018, maka permintaan dunia akan berkurang.
Secara terpisah dalam rilisnya, Satria Sambijantoro dan Ananka dari Bahana Sekuritas menekankan, Indonesia mesti mempercepat reformasi struktural pada tahun ini. Percepatan reformasi struktural itu antara lain dengan mengurangi ketergantungan terhadap ekspor komoditas dan mendiversifikasi pasar ekspor.
"Upaya memperbaiki neraca perdagangan ada di tangan pemerintah, terutama berkaitan dengan ekspor," jelas Satria.
Dalam pertemuan di Kedutaan Besar RI di Washington DC, AS, Presiden & CEO Footwear Distributors & Retailers of America (FDRA) Matt Priest menyampaikan, produk sepatu dari Indonesia memiliki daya saing. Namun, ia juga mengingatkan, pelaku usaha memerlukan kepastian dalam berbisnis, termasuk dalam hal regulasi.
Sebelumnya, Senin (14/1), di sela-sela pertemuan Enggartiasto dan Duta Besar RI untuk AS Budi Bowoleksono dengan pelaku usaha di Kedutaan Besar RI di Washington DC, AS, terungkap sejumlah potensi ekspor Indonesia ke AS yang bisa dikembangkan. Potensi itu berasal dari berbagai sektor, dengan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Dalam pertemuan dengan Presiden dan CEO Allegheny Technology Incorporated (ATI) Metals, Robert Wetherbee, terungkap, RI mengekspor nikel ke AS senilai 700 juta dollar AS. Sementara, Frank E Mars dari Mars Inc mengemukakan, Mars memiliki pusat riset mengenai cokelat di Sulawesi, serta berencana mengembangkan wisata dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Adapun Selim Ozdamar dari Royal Chain Group menyebutkan, produk perhiasan emas dari Indonesia memenuhi selera pasar di AS.